Peran dan Fungsi Agama di Alam Pembangunan


Ahmad Zacky Siradj

Peran dan fungsi agama cukup ramai menjadi bahan pembicaraan di tengah-tengah masyarakat yang sedang membangun. Hingga adakalanya perbincangan mengenai agama tersebut menukik sampai pada penggugatan atas keberadaannya dalam realitas kehidupan masyarakat.
Gambaran tentang agama itu sendiri terkadang nyaris dinilai hanya sebagai variable yang kurang menentukan di dalam proses rekayasa sosial dan kulural masyarakat yang lebih maju.
Walaupun demikian, sejarah telah memberi bukti bahwa pertumbuhan dan perjalanan perkembangan masyarakat bangsa Indonesia ini relative sebagian besar ditentukan oleh proses perkembangan agama-agama. Ini terlihat misalnya, lewat pertumbuhan dan perkembangan serta pasang surutnya kerajaan-kerajaan Hindu dan kesultanan-kesultanan Islam tempo dulu. Mungkin dari sini pula proses lanjut perkembangan agama termanifestasi lewat perjuangan mengusir penjajah dan perjuangan kemerdekaan serta proses pengisian kemerdekaan itu sendiri, misalnya dengan adanya perkembangan baru menunjukkan suatu kesanggupan untuk menghimpun diri dan membentuk organisasi-organisasi yang bersifat modern.
Atas dasar kecenderungan macam ini maka munculnya perbicangan mengenai agama pada saat ini boleh dikatakan merupakan bagian dari proses perkembangan agama-agama pada masyarakat Indonesia.

Nuasan Budaya
Namun begitu, munculnya perbicangan tentang agama ini juga boleh jadi karena adanya sikap kritis yang meningkat di kalangan masyarakat terhadap agama yang dianutnya atau terhadap agama yang dianutnya atau terhadap pemahaman keagamaannya. Di samping, mungkin juga, agama (yang dianutnya itu) telah difahami atau dipersepsi sebagai pandangan yang kritis di dalam melakukan penilaian terhadap usaha-usaha manusia yang tidak mendukung pencapaian dan perwujudan nilai-nilai kemanusiaan.
Memang, agama atau pemahaman agama itu sendiri, selalu diperhadapkan pada perkembangan-perkembangan baru yang muncul sebagai dinamika masyarakat dan sesuatu yang tak terhindarkan adanya. Ini berarti, bahwa pemahaman keagamaan para penganut terhadap agamanya, di satu segi dituntut memiliki sifat yang terbuka untuk kemudian diperbaharui kembali, dengan jalan antara lain, melakukan interprestasi-interprestasi baru terhadap ajaran-ajaran agamanya.
Di segi lain, pemahaman terhadap nilai-nilai agama ini harus memiliki keampuhan untuk kemudian digunakan menyeleksi perkembangan masyarakat itu sendiri. Mana misalnya yang mendukung perwujudan cita-cita kemanusiaan dan mana yang tidak. Dengan demikian maka dari kedua segi ini nantinya dimungkinkan, apakah pemahaman-pemahaman keagamaan itu akan memiliki sifat yang relevan dengan prekembangan yang sedang terjadi, atau mungkin akan dapat menjadi acuan kea rah mana perkembangan itu akan menuju.
Tetapi semua ini sangat ditentukan oleh pandangan para panganutnya, walaupun dalam kaitan ini, para penganut sebenarnya berkeinginan agar pemahaman keagamaannya itu tetap sambung secara fungsional dalam kehidupan masyarakat.
Karena itulah, mungkin, proses perubahan pemahaman keagamaan, jika kemudian diperhatikan lewat kenyataan secara lebih teliti maka proses tersebut berjalan sesuai dengan irama perkembangan dinamika masyarakat itu sendiri.
Dapat pula dikatakan bahwa timbulnya perubahan pemahaman keagamaan itu akibat adanya pengaruh-pengaruh luar, apakah itu berupa perkembangan tingkat pemikiran masyarakat, pengaruh dari perkembangan ilmu dan tehnologi atau perkembangan dari bidang-bidang kehidupan manusia lainnya.
Dari pengaruh ini dapat terlihat misalnya, tentang bagaimana gambaran agama yang dianut itu, serta sekaligus gambaran lingkungan masyarakat yang telah dapat pengaruh baik dari pemahaman agama tersebut.
Dengan demikian maka terdapatnya saling pengaruh, katakanlah antara agama dengan lingkungan tadi, menunjukkan bahwa agama telah meluar menyatu dengan kehidupan manusia, atau memiliki kesanggupan untuk selalu berhubungan secara fungsional dengan dinamika perkembangan masyarakat. 
Kenyataan lain yang juga bisa ditarik dari sini, ternyata ajaran agama dalam dirinya telah memproyeksikan suatu kecenderungan lebih panjang. Ini tergambar misalnya, pada watak ajaran agama itu sendiri yang lebih bersifat prinsip-prinsip umum tentang kehidupan manusia.
Itulah rupanya, mengapa agama di dalam dirinya juga memiliki sifatnya yang universal. Islam misalnya, yang dalam hal ini sering disebut dengan agama akhir zaman ternyata memiliki watak dan sifatnya yang semacam itu. Dari sini juga kita dapat menilai tentang pengaruh lingkungan berupa dinamika masyarakat (termasuk masyarakat penganutnya) terhadap agamanya, yang memang ternyata sering memperkuat sifat-sifat keuniversilan agama yang dianutnya itu.
Memang, agama pada dasarnya dapat memiliki keluasan wawasan, ketika agama itu telah melalui suatu peran sosial atau katakanlah “suksesi” kesejarahannya. Dalam keadaan seperti ini, agama itu telah memiliki nuansa-nuansa budaya berupa corak-corak berfikir masyarakat penganutnya yang melandasi semangat keberagamaannya.

Gambaran Agama
Sekadar ilustrasi tentang bagaimana agama memiliki nuansa budaya berupa corak-corak berfikir masyarakat penganutnya, atau selalu menunjukkan saling adanya pengaruh dengan perkembangan kehidupan masyarakat, kita dapat mengambil insyarat dari perbincangan agama, yang senantiasa dipertautkan dengan realitas-realitas kehidupan manusia. Hal ini mungkin dimaksudkan untuk menggali dan memperjelas peran dan fungsi agama dalam kehidupa masyarakat. Dari sini pun kita dapat menarik gambaran tentang bentuk-bentuk pemahaman keagamaan.
Pertama, misalnya, terbentuknya gambaran agama atas dasar pemahaman yang berciri keuniversalan. Ini terbentuk, karena agama selalu difahami dalam hubungannya dengan masalah-masalah kehidupan manusia yang memiliki lingkungan yang lebih luas. Di ataranya persoalan-persoalan agama dan perwujudan perdamaian dunia, agama dan tantangan zaman, agama dan masalah-masalah pembangunan, agama dan perubahan sosial, agama dan nilai-nilai kemanusiaan, agama dan perkembangan ilmu pengetahuan, agama dan perwujudan peradaban dunia di masa depan dan masalah-masalah lain yang menyangkut masa depan agama itu sendiri.
Dari kajian semacam ini  rupanya kemudian membentuk pandangan masyarakat tentang agama, sekaligus gambaran mengenai agama itu sendiri yang memiliki wawasan-wawasannya yang lebih luas. Dalam wawasan seperti ini pula, agama sering ditempatkan sebagai referensi persoalan-persoalan kehidupan manusia.
Gambaran agama yang bersifat sektoral misalnya, lahir dari pemahaman yang dibentuk lewat kajian-kajian keagamaan dalam kaitannya dengan bidang-bidang khusus kehidupan manusia. Dalam kaitan ini juga, agama lebih dituntut untuk memberikan jawaban terhadap masalah-masalah tersebut. Seperti antara lain tentang agama dan masalah kemiskinan perkotaan dan pedesaan, agama dan masalah lingkungan hidup, agama dan masalah berwiraswasta, berkoperasi dan bertransmigrasi serta masalah-masalah bidang-bidang kehidupan lainnya yang dikaji lewat pendekatan-pendekatan agama.
Kemudian gambaran agama yang bersifat lokal. Dimaksudkan dengan sifat lokal di sini adalah lahir lewat pemahaman  agama yang didasarkan pada batas wilayah pengaruhnya atau kelompok lapisan masyarakat tertentu. Seperti nampak dalam kajian tentang peranan agama pada masyarakat Jawa, masyarakat Minang, masyarakat Sunda, masyarakat Bugis, masyarakat Aceh atau masyarakat Banjar dan suku-suku bangsa yang lainnya.
Juga kajian tentang peranan agama pada masyarakat yang masih primitive, masyarakat yang sedang berkembang, masyarakat industri, masyarakat perkotaan, pedesaan, pesisir, masyarakat daerah kesultanan. Kauman atau pandangan kalngan “santri”nya sendiri, yaitu pada kalangan penganut yang sementara ini katakanlah, dinilai taat terhadap ajaran agama yang dianutnya.
Selanjutnya, gambara agama yang bersifat esklusif. Gambaran kajian tentang aliran-aliran pemahaman keagamaan yang ada di kalangan para penganutnya itu sendiri, atau macam-macam aliran penganutan terhadap faham keagamaan. Seperti di antaranya kajian-kajian agama yang didekati lewat aliran-aliran dalam tharikat dan aliran-aliran lainnya dalam faham keagamaan.
Sekalipun dalam hal ini kajian agama ditujukan kepada aliran pemahamannya, namun dalam beberapa hal gambaran agama yang lahir dari kajian ini juga menunjukkan ketidakterlpaskannya dengan bidang kehidupan kehidupan manusia dan perkembangan masyarakatnya, walaupun diakui tetap memiliki keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
Secara selintas, memperhatikan agama dalam kaitannya dengan masalah yang bersifat khusus ini ternyata bisa menempatkan agama yang disemangati oleh alam pikiran atau suatu pandangan atau katakanlah sikap hidup yang pragmatis. Di mana agama harus tampil memberikan jawaban yang mungkin juga (jawaban tersebut), sekaligus merupakan jalan keluar terhadap berbagai persoalan dan kebutuhan yang muncul di atas permukaan kehidupan manusia, sekalipun kebutuhan itu misalnya relative bersifat sementara.
Kedudukan agama semacam ini yang juga sering disebut secara kontekstual dan membumi, menurut beberapa kalangan nampaknya sudah menjadi suatu keharusan yang mungkin disebabkan oleh proses lanjut dari fungsi aslinya agama itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa kehadiran agama pada asalnya adalah sebagai kerangka rujukan yang bersifat etis bagi kehidupan manusia. Itulah rupanya, kenapa kemudian dikatakan bahwa segi apapun dalam kehidupan manusia, sedikitnya akan terkait secara etis dengan nilai-nilai agama. Namun demikian, dari kajian-kajian agama yang bersifat khusus ini sering pula menimbulkan pemahaman dan gambaran tentang agama yang cenderung bersifat lebih sempit apalagi jika kemudian tidak dibarengi dengan usaha untuk mengenal konteks agama dengan segi-segi kehidupan yang lainnya.

Penilaian Sejarah
Karena segi-segi kehidupan manusia selalu terkait secara etis dengan agama maka di satu segi, agama memiliki hubungan dengan hal-hal yang bersifat makro, atau bidang-bidang kehidupan yang bersifat universal idealistik, juga di segi lain erat dengan hal-hal yang bersifat mikro atau bidang-bidang khusus yang kontekstual pragmatik.
Adanya perbincangan-perbicangan agama dalam sifat seperti itu menunjukkan bahwa agama dapat membahasakan kehadiran dirinya, lewat kemampuan merefleksikan nilai-nilai yang dikandungnya ke dalam kehidupan manusia secara menyeluruh. Dengan kata lain, nilai-nilai agama ini mengalami proses transformasi ke dalam kehidupan manusia termasuk pada dinamika perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Proses transformasi semacam ini mungkin pada gilirannya akan semakin melarutkan nilai-nilai agama, sehingga mimiliki ukuran-ukuran yang empiris dan historis. Ukuran-ukuran semacam ini menempatkan nilai-nilai normative agama, tidak sekadar dapat dibaca dari sejarah kehidupan manusia atau suatu masyarakat yang tercermin lewat pandangan-pandangan dan sikap-sikap hidupnya atau pengkajian agama lewat refleksi sosiologisnya.
Dari sini mungkin akan muncul pesan-pesan agama yang telah menjadi pesan-pesan sosial. Pesan-pesan ini lahir dikarenakan nilai-nilai tertentu yang terdapat dalam agama misalnya, menjadi norma yang tumbuh dan menyatu dengan semangat dan pandangan kemasyarakatan. Seperti terdapatnya etika-etika di dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk keharusan mencari ilmu pengetahuan, menegakkan keadilan, menghilangkan penindasan dan penyelewengan-penyelewengan sosial, termasuk juga dorongan untuk mempertahankan nasib-nasib bersama (sebangsa dan setanah air) dan pesan-pesan sosial yang lainnya.
Adanya pesan-pesan sosial semacam ini merupakan refleksi dari nilai-nilai agama yang tentu akan berkembang sendiri sesuai dengan dinamika masyarakatnya. Di samping mungkin pula akan mengalami pengkajian ulang tatkala dalam suatu episode tertentu dari kehidupan manusia misalnya, dirasakan adanya kesenjangan-kesenjangan, di mana nilai-nilai agama di satu pihak, dengan kecenderungan kehidupan masyarakat di pihak lain kurang menunjukkan persenyawaan yang damai, atau katakanlah dengan bahasa agama, kurang memberi dimensi yang “rahmatan lil ‘aalamiin.”  Itulah rupayanya maka proses perbincangan mengenai agama, mungkin akan terus berjalan sesuai dengan perkembangan masyarakat itu sendiri.
Namun yang pasti bahwa, munculnya gairah perbincangan agama ini mungkin pula dilatarbelakangi oleh semangat yang sedang membangun. Sebab pembangunan pada dasarnya adalah bagaimana merubah suatu kehidupan manusia kea rah yang lebih baik dan ini nampaknya telah pula memberi pengaruh yang positif kepada para penganut agama untuk melakukan usaha-usaha penyegaran faham keagamaannya ke arah yang lebih maju.
Di samping agama itu sendiri memberi dorongan pada manusia untuk merubah nasibnya sendiri, sehingga nampaknya telah membangun kembali alam pandangan keagamaan masyarakat penganutnya, paling tidak diantaranya bahwa nilai-nilai agama yang bersifat idealistik telah mendapatkan pendekatan-pendekatan yang lebih praktis dalam menjawab tuntutan kehidupan manusia.
Kecenderungan semacam ini tentu pada gilirannya akan mendapat pengujian dan penilaian sejarah sendiri. Karena itu para penganut agama akan senantiasa diuji oleh seberapa jauh pemahaman keagamaannya itu dapat menjawab persoalan-persoalan kehidupannya.*


* Penulis adalah Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)
** Tulisan ini dimuat di Harian Pelita, Jumat, 30 Oktober 1986, halaman iv dan vi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memelihara Tradisi Intelektual

Disekitar Da'wah dan Politik: Sebuah Pengantar

Peran HMI dan Tanggung Jawab Masa Depan