Pemahaman Agama dan Pertarungan Peradaban


Ahmad Zacky Siradj




Mengamati kecenderungan pemahaman agama yang secara fenomenologis terangkat kepermukaan dalam arti terberitakan secara luas melalui media massa, menunjukan bahwa pada awal abad ke 21 ini wajah agama memberikan kesan yang begitu "keras dan bengis" terhadap kemanusiaan. Adanya kesan yang begitu kurang mengenakan ini menempatkan agama seakan kehilangan pesan-pesan kesuciannya yang luhur dan agung bagi peradaban umat manusia. Padahal, sebagaimana kita ketahui agama telah memberikan andil dan peran sejarahnya yang begitu hebat bagi kemajuan ilmu serta memberikan landasan yang kokoh bagi terbangunnya peradaban kemanusiaan yang mulia. Akan tetapi sementara ini, menunjukan tingkat keadaan peradaban benar-benar telah berada di titik nadir. Di mana agama yang semestinya jadi sumber inspirasi untuk selalu membangun tatanan kehidupan yang lebih baik seakan telah berubah menjadi pembunuh massal.
Pemberitaan tentang agama yang keras dan bengis ini antara lain dalam liputan The Economist. Media ini menyimpulkan bahwa sepanjang 2015 agama telah diperalat sebagai instrumen yang ampuh untuk perang dan politik kekuasaan. Kesan tersebut dipertegas misanya oleh Independent Daily yang mencatat sekurangnya 10 konflik “bermotif agama” yang terjadi di berbagai belahan dunia selama 2015—dan kemungkinan besar akan tetap mewarnai kehidupan keagamaan pada 2016. Indiskasi tersebut, tidak saja dipublikasi melalui media cetak dan elektronik, tetapi juga diangkat secara eksplisit melalui berbagai siaran media televisi, antara lain kejadian di Bosnia, gerakan Boko Haram di Afrika, kekejaman yang terjadi di Miyanmar, dan pertempuran di Timur Tengah yang sangat mengerikan. Bahkan, di Indonesia sendiri, terjadi pula kasus-kasus terorisme yang oleh sebagian pihak dihubungkan dengan apa yang terjadi di Timur Tengah. Sidney Jones misalnya, menduga bahwa kelompok Santoso memiliki keterkaitan dengan gerakan yang berada di Timur Tengah.
Melihat kejadian-kejadian tersebut tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa fenomena dari pemahaman agama telah mencederai pesan kemanusiaan yang dibawa agama itu sendiri. Agama seakan lepas dari pesan-pesan kemanusiaannya. Atau dengan kata lain, wajah agama yang lahir dari pemahaman tersebut telah menodai peran suci yang sejatinya dikandung oleh agama itu sendiri.
Menghadap fenomena keagamaan di atas maka sebagai masyarakat beragama yang mayoritas beragama Islam, kita dihadapkan kepada persoalan yang cukup berat. Sekurang-kurangnya terdapat dua persoalan, baik bukan hanya dari internal berupa pemahaman normatif doktrin keagamaan, tetapi juga secara eksternal yaitu kepentingan politik global yang menjadikan agama sebagai alat perang.
Dalam konteks tersebut, agama sepertinya telah berada di luar fitrah kemanusiaan, seakan agama bukan milik yang inheren dengan dirinya. Dan, bila agama telah dipersepsi berada di luar dirinya, maka apa mungkin agama telah kehilangan dimensi kemanusiaannya?
Untuk itu, perlu dibangun pemahaman dan kesadaran baru dalam beragama, sekurang-kurangnya kesadaran tentang politik agama atau politik keagamaan yang bersumber pada pemahaman bahwa agama itu hadir bagi kehidupan manusia sebagai rahmat bagi seluruh alam. Pandangan ini hendaknya tercermin bukan saja pada sikap pribadi (ide-ide, gagasan, dan konsep-konsep) tetapi juga pada institusi-institusi keagamaan maupun yang bernafaskan keagamaan, terutama yang berkembang dalam kehidupan masyarakat bangsa seperti masyarakat adat dan masayarakat etnik yang lainnya.
Membangun kesadaran tersebut tentu saja sejalan dengan semangat yang menjadi negara bangsa kita, yakni untuk membangun karakter bangsa (nation and character building dalam istilah Bung Karno) bahwa bagaimana memupuk keimanan yang kuat yaitu yang Berketuhanan Yang Maha Esa (yang disebut Bung Hatta sebagai Tauhid) serta mempertebal komitmen kemanusiaan yang tinggi dengan mengimplementasikan kemanusiaan yang adil dan beradab (hablum min an-nas).
Mengapa politik keagamaan menjadi penting untuk membangun pemahaman dan kesadaran baru dalam beragama? Karena saat ini kita juga sedang menghadapi apa yang disebut dengan perang gelombang ketiga yang sangat dahsyat yaitu apa yang disebut dengan proxy war dan asymetris war, atau sering juga disebut dengan perang persepsi. Membangun persepsi pada seseorang atau sekelompok orang hingga mengendap di bawah alam sadarnya, kemudian ia melawan keasadarannya sendiri. Seseorang atau sekelompok orang ini sangat berani dan nekat melawan dan memerangi apa yang menjadi kepentingan bangsanya sendiri. Dan perang persepsi ini juga tidak mustahil masuk dalam pemahaman agama yang telah memiliki potensi perbedaan pemahaman baik secara figh maupun teologi. Sehingga perbedaan bukan lagi pembawa rahmat tetapi penistaan dan pembunuhan. Sebagaimana dulu bangsa kita juga mengalami bagaimana perang antara etnis, karena Kolonial Barat menggunakan politik devide at impera (politik pecah belah) untuk melemahkan dan mengahancurkan lawan.
Ada semacam pertanyaan terhadap penilaian pemahaman keagamaan ini, sisalnya dengan apa yang disebut oleh Samuel P. Huntington dengan clash civilazation (pertarungan peradaban). Apakah fenomena yang nampak di awal abad 21 ini dapat disebut dengan pertarungan peradaban tersebut? Apakah perdaban yang bertarung ini katakanlah antara peradaban yang mengarusutamakan spritual dengan tidak melupakan hal dunia, melawan peradaban yang mengarusutamakan material dan kurang mengindah dimensi sepritual? Dan, apakah pertarungan peradaban ini juga dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan negara super power yang ingin menguasai sebesar-besarnya sumber energi di berbagai belahan dunia?
Pertanyaan tersebut mengemuka bukan karena kita mau mencoba lari dari kenyataan. Karena dalam proses globalisasi sesungguhnya memang telah terjadi suatu gejala pergeseran nilai-nilai. Sebut saja antara lain hilangnya batas negara dengan begitu banyak perjanjian internasional yang disepakati, sehingga negara kehilangan daya proteksi dirinya. Akibatnya, negara seakan telah tidak perlu memikirkan nasionalisme dan memperjuangkan kepentingan bangsanya, atau bahkan ideologi negara telah mati? Kalau begitu, lalu masih adakah Indonesia?
Dalam konteks itu, kalau boleh kita menilai pernyataan-pernyataan tersebut merupakan bagian dari perang persepsi tadi. Karena bagaimana pun, kita sama-sama mengetahui bahwa kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat mewarnai proses globalisasi, sedikit banyak menyertakan pula ideologi dan pandangan hidup yang bersifat materialistik atau hedonistik, sehingga nilai-nilai spritualistik semakin tersisih dan terpinggirkan.
Karena diduga ada proses peminggiran nilai agama atau pemahaman agama yang tidak sesuai dengan kesejatiannya maka pertanyaan berikutnya adalah tentunya kepada institusi-institusi keagamaan yang hidup dalam masyarakat, karena institusi-institusi itulah yang menjadi pilar utama yang berperan sebagai tonggak peradabannya. Istitusi keagamaan ini lahir sebagai manifestasi dari nilai dan norma agama, secara sederhana misalnya kantor KUA di suatu kecamatan di antara tugasnya melaksanakan aqad nikah sebagai manifestasi dari nilai nikah yang begitu sakral yang disebutkan dalam al-Quran sebagai mitsakan ghalidhan (perjanjian luhur dan suci). Dari sini dapat kita gambarkan bahwa kehadiran agama sebagai penopang perdaban, dalam hal ini mewujudkan kehidupan kemanusiaan yang bermoral serta mulia. Dan, yang tidak kurang pentingnya adalah KUA sendiri merupakan simbol kehadiran negara bagi rakyatnya. Hanya sayang bila kita melihat kondisi kantor-kantor KUA sangat memprihatinkan, tidaklah seimbang dengan keagungan dan kemuliaan ajaran yang diembannya.
Institusi keagamaan yang memiliki peran strategis dalam membangun peradaban, baik dalam menghadapi proxy war maupun dalam menghadapi clash civilization. Dalam hal ini adalah perguruan tinggi-perguruan tinggi keagamaan, Islam khususnya seperti UIN dan universitas Islam lainnya baik negeri maupun swasta maupun perguruan tinggi pada umumnya. Panglima perangnya itu boleh jadi rektor yang paham tetang medan perang yang sedang dihadapi serta paham pula dengan politik keagamaan yang berbasis nilai rahmatan lil'alamin.
Sebab, bukan tidak ada persoalan di perguruan-perguruan tinggi, justru di sinilah medan laga perjuangannya. Karena di satu sisi perguruan tinggi sebagai elite kaum terpelajar yang cenderung memenara gading dan terasing dari masyarakatnya. Melihat realitas keterasingan elite ini sangat relevan bila kita kembali mencermati kembali nilai-nilai pangabdian masyarakat yang terkandung dalam salah satu tri dharma perguruan tinggi. Sangat mungkin bila kita simpulkan bahwa nilai tersebut dimaksudkan agar masyarakat tidak teralienasi dari para elite terpelajar di kampus-kampus, tetapi tetap menjadi subyek dari gerakan perubahan yang dilakukan perguruan tinggi.
Di sisi lain perguruan tinggi juga sebagai pelayan perubahan kehidupan masyarakat yaitu melaksanakan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan kehidupan berperadaban. Karena itu, rektor—bila diumpamakan berada di dalam pertarungan peradaban—adalah sebagai panglima perang. Karena itu, rektor bukan hanya mampu memenuhi persyaratan administrasi kepangkatan, tetapi juga sebagai pemikir peradaban. Dengan demikian, salah satu tugas negara/pemerintahan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dapat diemban secara mumpuni oleh rektor. Sementara peran alumni bagi sebuah perguruan tinggi selain mendedikasikan pengabdian keilmuannya juga harus menjadi primus interparis yang mampu menebar ketauladanan, sesuai kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya. Menempatkannya dalam konteks dalam pertempuran peradaban tadi, para alumni perguruan tinggi bisa disebut sebagai jendera-jenderal lapangan yang menguasai medan pertempuran. Maka, untuk dapat berperan, para alumni juga dituntut memiliki integritas yang tinggi.
Sebagai catatan saja bahwa dampak dari proxy war ini, seperti disinyalir oleh Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, diperkirakan sebanyak 112 Undang-undang yang terindikasi menguntungkan pihak asing. Kita pun dapat mencermati bersama bagaimana hasil Mahkamah Konstitusi yang menguji berbagai Undang-undang dan telah ada yang diputus, termasuk misalnya Undang-undang Migas. Hal ini menegaskan pada kita bahwa apa yang terjadi di negara ini pada kenyataannya hampir sama dengan apa yang terjadi di Timur Tengah. Bagaimana hancurnya negara-negara di kawasan Timur Tengah, tetapi setelah itu siapa yang menguasai sumber energinya? Bedanya bila di kawasan itu terjadi perang fisik bersenjata sementara Indonesia melalui perang persepsi dan kosepsi. Jadi bila terjadi kelengahan di dalam pembuatan Undang-undang maka ada tiga pihak yang boleh dikatakan bertanggung jawab, yaitu DPR dan Pemerintah karena setiap undang-undang dibahas bersama. Dan, satu pihak lagi adalah perguruan tinggi, karena naskah akademis untuk setiap Rancangan Undang-undang biasanya dibuat oleh perguruan tinggi atau para akademisi.
Catatan lainnya adalah “kebobolan” aturan dalam Perguruan Tinggi Agama Islam yang tidak lagi menghormati asas musyawarah tapi melalui penunjukan yang begitu otoriter di bawah kekuasaan rektor. Sebagai contoh, mengganti dekan-dekannya yang baru saja menjabat, bahkan ada yang belum satu tahun menjabat sebagai dekan sudah diganti oleh rektor. Wajah kebijakan yang  bernada keras ini cukup memprihatinkan. Pasalnya selama ini pihak atau tokoh-tokoh pemikir dari perguruan tinggi Islam sering mengemukaan bahwa Islam sangat compatible dengan demokrasi, karena Islam menjunjung musyawarah (wa syawirhum fi al-amr). Lalu mengapa pada prakteknya sangat berlawanan? Memang rektor tidak bisa disalahkan, karena harus segera melaksanakan aturan yang diberlakukan. Seperti kata pepatah, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Persoalannya adalah mengapa aturan tersebut bisa masuk ke dalam perguruan tinggi Islam, padahal sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai luhur Islam?.
Inilah mungkin salah satu indikator dari proxy war yang sedang terjadi di depan mata kita, di almamater kita sendiri. Karena itu, kita patut waspada jangan sampai benih-benih aturan yang memberikan wajah Islam yang keras, justru tumbuh di pusat-pusat pengembangan peradaban Islam itu sendiri. Sebagai ilustrasi yang mudah-mudahan tidak salah, hancurnya Uni Soviet/Rusia yang sesungguhnya sebuah negara adikuasa yang kuat, namun bubar dan kini menjadi negara-negara kecil yang merdeka akibat kebijakan kepala negaranya Mikahil Gorbachev yang mengembangkan pemikiran glasnost dan perestroika.
Dalam kaitan dengan hal-hal tersebut di atas, pada dasarnya sesungguhnya tanggung jawab kaum terpelajar para alumni perguruan tinggi. Karena apa yang diamanahkan oleh para pendiri negara bangsa ini adalah juga untuk membangun kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan ilustrasi tersebut maka dalam menghadapi fenomena sebagaimana dikemukakan di atas, bukan saja dituntut para pemuka pemikir agama untuk merajut kembali pesan-pesan nilai keagamaan, agar agama dapat kembali mewarnai dan memberi landasan pada proses kebangkitan peradaban manusia. Sembari juga perlu melakukan introspkesi atau muhasabah tentang pemahaman keagamaan yang sementara ini dianut agar tetap segar dan sanggup menjawab berbagai persoalan yang dihadapi. Semoga!







* Penulis adalah Ketua Umum IKALUIN Jakarta. Menyelesaikan Sarjana Lengkap di Fakulktas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1980). Peran menjadi anggota MPR Fraksi Utusan Golongan (1999-2004) dan salah seorang Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR yang membidangi Amandemen UUD 1945. Saat ini mengemban amanah sebagai Anggota DPR RI (2014-2019) dari Fraksi Golkar.

** Tulisan ini dimuat di Jurnal Bijak IKALUIN, Edisi 3, Agustus 2016/Syawwal 1436 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memelihara Tradisi Intelektual

Disekitar Da'wah dan Politik: Sebuah Pengantar

Peran HMI dan Tanggung Jawab Masa Depan