Menurunkan Pancasila, Menghampiri Haluan Negara
Oleh: Ahmad Zacky Siradj
Proses
globalisasi telah menjadi tantangan terhadap nilai-nilai kebangsaan kita.
Proses tersebut pada kenyataannya membawa nilai-nilai, yang bisa memperkuat
tetapi bisa pula memperlemahnya. Bahkan bukan tidak mungkin berdampak pada
krisis identitas di kalangan masyarakat bangsa. Krisis identitas ini
dikarenakan proses regenerasi yang sedikit banyak menumbuhkan kesenjangan
pemahaman. Karena itu, kita perlu melakukan berbagai upaya memahami kembali
butir-butir hikmah dari keteladanan para pendiri bangsa, di samping nilai-nilai
kebangsaan tersebut perlu terus diaktualisasikan dan relevansi seiring realitas
kehidupan yang terus berubah.
Sementara kita tahu persis, bagaimana
proses globalisasi—sedikit banyak—telah merubah cara pandang kita, cara
bersikap, dan cara hidup kita. Perubahan tersebut secara kasat nyata kita
melihat mulai tumbuhnya gejala pragmatisme, kapitalisme, materialisme, dan
hedonisme yang semakin menggejala dalam kehidupan. Lebih dari itu, kita juga
sama-sama merasakan semakin pudar atau semakin hilangnya budaya gotong royong,
ikatan kekeluargaan, dan rasa tenggang rasa dalam kehidupan masyarakat bangsa
kita. Padahal budaya luhur tersebut tidak saja selama ini tumbuh subur, tetapi
tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia yang dikenal santun
dan berbudaya, silih asah, silih asih, silih asuh, silih wangi.
Perubahan cara pandang tersebut, terjadi
pula dalam bidang sosial ekonomi. Kita sebagai bangsa dengan sumber daya alam
berlimpah sebagaimana dilukiskan sebagai “kolam susu” oleh Koes Ploes,
“tongkat, kayu, dan batu menjadi tanaman.” Pada kenyataanya, selain kesenjangan
kehidupan yang semakin melebar, kita bahkan kesulitan dalam soal pangan. Karena
kalau sampai untuk kebutuhan pokok seperti beras, gula, garam, buah, dan
sayuran—yang sesungguhnya bisa kita hasilkan dari tanah bumi sendiri—sampai
hari ini harus kita impor dari luar. Padahal, bangsa ini dibangun dan
diidealkan dengan penuh kewibawaan, seperti dalam Tri Sakti Bung Karno,
“berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan”. Karena itu, sungguh menyedihkan bila kita—yang disebut-sebut
pewaris kebesaran Sriwijaya dan Majapahit Maka, negara adidaya di zamrut
katulistiwa—begitu tak berdaya melepaskan dari jeratan kepentingan asing dan
membuat kita ditempatkan sebagai tamu di negeri sendiri.
Kondisi di atas, penting untuk menjadi
keprihatinan, perhatian, dan kita waspadai bersama. Karena sejarah membuktikan
bahwa perubahan cara pandang dapat memporakporandakan kekokohan sebuah negara.
Sebagaimana dialami Uni Soviet yang hancur, bukan karena pertempuran senjata
dan peluru yang berjatuhan, tetapi karena perubahan misndset (cara
pandang) Presiden Gorvachev dengan pemikiran Prestorika dan Glassnot.
Karena itu, tantangan yang kita hadapi
saat ini bukan lagi pertempuran bersenjata seperti pada masa penjajahan
kolonial. Tetapi perang gelombang ketiga yang lebih dahsyat yaitu apa yang
disebut dengan proxy war dan asymetris war atau perang persepsi
(cara pendang). Strategi merubah cara pandang dengan menyusupkan pemahaman atau
pemikiran, kemudian menguasai agar melawan kesadarannya sendiri. Perang
persepsi ini merupakan upaya penghancuran sebuah bangsa “dari dalam.” Stategi
semacam ini pada masa penjajah pernah kita alami pada masa kolonial yang
melakukan politik pecah belah (devide at impera), sehingga sasama anak
bangsa kita diadu domba, terpecah belah, dan saling bermusuhan.
Dalam konteks itu, pendalaman dan
penguatan kembali nilai-nilai kebangsaan menjadi penting dan relevan di tengah
kehidupan masyarakat bangsa dewasa ini. Karena nilai-nilai tersebut merupakan
identitas bangsa serta menjadi titik tolak bagaimana menyikapi berbagai
persoalan kehidupan dan mempertahankan eksistensinya di antara bangsa-bangsa.
Dan, sejatinya nilai-nilai itulah yang akan memberikan pancaran bagi seluruh
kebijakan dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena itu ideologi dapat dirumuskan sebagai keseluruhan
wawasan konseptual tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sifat dari ideologi ini sistemik, mendasar,
menyeluruh, konsisten, dan koheren, dalam arti bagian-bagiannya saling
menunjang satu sama lainnya. Begitu pula dalam ideologi tidak boleh ada
pernyataan yang saling bertentangan. Di samping kedudukan ideologi hendaknya
pula disusun dan ditempatkan sebagai rujukan dalam merumuskan kebijakan dan
strategi nasional, sejak dari yang paling dasar seperti tercantum dalam
Undang-Undang Dasar, sampai pada penjabaran tindak lanjutnya, seperti tercantum
dalam undang-undang dan berbagai peraturan pelaksanaannya.
Penguatan
Nilai Kebangsaan
Perjalanan Reformasi selama lebih dari
17 tahun, telah membawa
perbaikan dalam beberapa bidang, khususnya dalam kebebasan menyuarakan pendapat
dan pembentukan partai-partai politik. Namun di samping itu, memperlihatkan
keprihatinan dalam bidang ideologi, persatuan dan kesatuan bangsa, toleransi antar umat beragama dan
berkepercayaan, rasa aman masyarakat, kelestarian sumber daya alam, dan pemerataan
hasil-hasil pembangunan. Sungguh pun demikian, kondisi ini telah pula membangunkan
kesadaran tentang penguatan nilai-nilai Pancasila dan penjabarannya dalam
kehidupan masyarakat bangsa.
Kesadaran ini didorong antara lain, pertama,
semakin meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk. Kedua, letak geografis
kita sebagai negara kepulauan yang membuat wilayah laut kita yang jauh lebih
luas, bukan saja mencakup laut pedalaman dan laut teritorial, tetapi juga Zona
Ekonomi Eksklusif sejauh 200 mil di luar garis laut teritorial kita. Ketiga,
meskipun di atas permukaan kemajuan ekonomi kita dikatakan tumbuh pesat, namun
hasilnya belum bisa dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Justru membuka
jarak kesenjangan yang semakin lebar, di tengah sumber daya alam yang semakin
terkuras, dan semakin sulit melepaskan diri dari ketergantungan terhadap barang-barang
impor—bahkan untuk kebutuhan pokok hidup kita sehari-hari.
Kenyataan ini, tentu saja menjadi indikasi
terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan negara yang salah kelola dari yang seharus
diwujudkan. Kondisi ini sencara nyata memperlihatkan negara kita kalah dalam menghadapi
persaingan antar negara di tingkat
global. Padahal semestinya bangsa ini dengan gigih menunjukan kesanggupan dan kemampuannya
dalam merealisasikan cita-citanya di
tengah masyarakat dunia. Dan, kalau ditarik apa yang dialami bangsa ini
bermuara pada semakin jauhnya pemahaman, pengahayatan, dan pengamalan terhadap
dasar ideologi atau pandangan hidup bangsa dalam pengelolaan negara.
Karena itu, penyegaran kembali pemahaman
kita tentang kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi kebutuhan mendesak.
Bukan saja karena terjadi gejala “pembusukan politik” (political decay) yaitu maraknya
konflik vertikal dan horizontal di tengah masyarakat, anjloknya kualitas elite
politik dan pejabat publik yang terasing dari masyarakat dan tanpa cerminan
keteladanan, dan lemahnya kepercayaan masyarakat akan kehadiran negara dalam
menyelesaikan persoalatan tersebut. Lebih dari itu, terlihat pula gejala merosotnya
nilai-nilai nasionalisme dan idealisme yang seyogyanya meresapi seluruh proses
pembuatan kebijakan dan keputusan para penyelenggara negara.
Seiring dengan itu, terdapat indikasi awal
terjadinya “pembajakan negara” (state
capture) terhadap sistem hukum, politik, dan ekonomi nasional oleh
kepentingan asing yang menyusup ke sejumlah peraturan perundangan-undangan
kita. Kekhawatiran ini, antara lain dikemukakan
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri yang mensinyalir sekitar 112 undang-undang yang
terindikasi berpihak kepada kepentingan asing. Kita pun dapat mencermati hasil putusan
Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian lebih dari 80 undang-undangan tentang
sumber daya alam, ada yang telah dibatalkan, direvisi seluruhnya, dan sebagai
karena bertentangan dengan UUD 1945.
Kondisi ini sangat mengkhwatirkan kita sebagai
bangsa yang diidealkan Bung Karno dalam Tri Saktinya, “berdaulat dalam politik,
berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”. Maka dari itu, indikasi
penyelundupan kepentingan asing melalui sistem perundangan ini harus menjadi
perhatian kita waspadai, agar jangan sampai negara dengan kekayaan sumber daya
alam yang berlimpah ini, membuat kita ditempatkan sebagai tamu di negeri
sendiri.
Dalam konteks itu, kita berpandangan bahwa ideologi dapat dirumuskan sebagai keseluruhan
wawasan konseptual tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Sifat dari ideologi ini sistemik, mendasar,
menyeluruh, konsisten, dan koheren, dalam arti bagian-bagiannya saling
menunjang satu sama lainnya. Begitu pula dalam ideologi tidak boleh ada
pernyataan yang saling bertentangan. Di samping kedudukan ideologi hendaknya
pula disusun dan ditempatkan sebagai rujukan dalam merumuskan kebijakan dan
strategi nasional, sejak dari yang paling dasar seperti tercantum dalam
Undang-Undang Dasar, sampai pada penjabaran tindak lanjutnya, seperti tercantum
dalam undang-undang dan berbagai peraturan pelaksanaannya.
Senada dengan apa yang sampaikan Saafrodin
Bahar tentang ideologi, yang juga merujuk pada teori Stufenbau theorie des Rechts dari
Hans Kelsen, yaitu bahwa Staatsfundemantalnorm
(norma fundamental negara) diturunkan
dalam Undang-Undang Dasar, undang-undang, dan berbagai bentuk produk hukum
positif lainnya. Dengan demikian, bagi suatu negara dalam merumuskan
undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya dilandasi dengan filsafat
hidupnya. Bagi bangsa Indonesia, nilai yang menjadi filsafat hidupnya adalah
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Karena di dalamnya, dikemukakan tentang
makna kehidupan dalam kemerdekaan, cita-cita negara, dan tugas mulia
negara/pemerintah. Selain itu, terkandung pula nilai-nilai dasar yang menjadi
ladasan fundamental dalam menjalankan kehidupan ketatanegaraan, yaitu nilai-nilai
Pancasila.
Kebutuhan Terhadap Haluan Negara
Selanjutnya,
kembali mengemuka kesadaran tentang pentingnya “haluan negara” dalam sistem pemerintahan
dan ketatanegaraan kita. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan haluan negara adalah
capaian-capaian jangka panjang yang akan diwujudkan oleh negara. Kalau kita merujuk
kepada tujuan negara yang ada dalam alinea kedua pembukaan UUD 1945 yang
berbunyi “merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”, maka seperti apa kira-kira
perwujudannya dalam 25 atau 50 tahun mendatang? Inilah yang mendorong munculnya
gagasan untuk menghidupkan kembali GBHN.
Selain dari pada itu, nilai-nilai
Pancasila menuntut pula adanya kontinuitas dalam perencanaan pembangunan untuk
menyejahterakan dan mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk memelihara
kesinambungan program-program pembangunan inilah, adanya haluan negara menjadi
sesuatu yang strategis dan keharusan.
Pada masa Orde Lama, kita mengenal Pembangunan
Rakyat Semesta Berencana yang tercermin dalam pidato-pidato Bung Karno. Inilah
yang menjadi rumusan haluan negara yang menjadi strategi dan arah yang ditempuh
pemerintah dalam mewujudkan ke mana negara akan dibentuk. Rumusan tersebut
sesungguhnya tetap berdasar kepada tujuan atau mengarah kepada tujuan, maupun
dengan nilai-nilai dasar yang ada dalam Pembukaan UUD yaitu Pancasila.
Begitupun pada masa
pemerintahan Orde Baru, secara jelas kita kemudian mengenal apa yang disebut
Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Perwujudannya kemudian dituangkan dalam
Rencana Pembangunan 25 Tahunan (Repelita). Dari
sini, dapat dilihat ada target-target jangka panjang sebagai haluan pembangunan
yang ingin dicapai negara dalam program pemerintah. Dan, indikasi keberhasilan
Repelita, antara lain tercapaianya suasembada beras dan berhasilnya negara ini
memasuki hight tekhnologi dengan diproduksinya pesawat terbang. Tentu
menjadi catatan bahwa pada masa ini, Soeharto terpilih menjadi presiden
berkali-kali, sehingga dimungkinkan tercapainya pelaksanaan rencana pembangunan
yang berkelanjutan.
Di samping itu,
sebelumnya MPR merupakan lembaga tertinggi negara dan penjelmaan kedaulatan
rakyat, sedangkan presiden sebagai mandataris MPR. Dengan demikian, apabila rakyat
telah memilih atau dengan terbentuk MPR, kedaulatnya sudah lepas dan diberikan
ke MPR. Kemudian, setelah MPR memilih presiden, kedaulatannya pun lepas dan
berada di tangan presiden, sehingga pemerintahan yang berada di tangan presiden
merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat.
Akan tetapi
setelah Reformasi, dengan dilakukannya Amandemen terhadap UUD 1945, maka MPR
tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, tidak lagi menjadi penjelmaan
kedaulatan rakyat, dan dilakukan pemilihan presiden secara langsung. Inilah,
yang kini mengingatkan kita kembali tentang pentingnya menghidupkan kembali haluan
negara dalam pengelolaan negara.
Kalau ketiadaan
haluan negara ini, kemudian yang menjadi acuan perencanaan pembangunan adalah visi-misi
presiden, maka masa jabatan presiden dapat memutus kesinambungan rencana jangka
panjang pembangunan. Sangat mungkin, setiap presiden akan berbeda-beda dalam
merumuskan visi-misinya, sehingga pergantian jabatan presiden dikhwatirkan
tidak dapat meneruskan apa yang telah menjadi program dan perencanaan presiden
sebelumnya.
Selain itu,
sistem Pemilukada juga memungkinkan gubernur, bupati/walikota memiliki
visi-misinya masing-masing. Perbedaan kondisi daerah dan sistem pemelihan yang multi
partai, sangat memungkinkan tejadinya perbedaan cara pandang dan target
pembangunan yang ingin dicapai. Karena itu, haluan negara menjadi semacam
pedoman (guidance) pembangunan yang harus dijabarkan dan diturunkan, baik
oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Dari sisi itu,
perbedaan geografis dan kebhinnekaan suku bangsa di tiap-tiap daerah,
menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang terbuka dan semakin hidup sebagai
perekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itu, Pancasila dan haluan
negara menjadi kerangka penting selain sebagai dasar negara, manifesatasi
tujuan negara, sekaligus menjadi titik temu dan perekat kebhinnekaan kehidupan
masyarakat bangsa. Dengan begitu, nilai-nilai Pancasila dapat pula dimanipestasikan
kehidupan berbangsa bernegara dalam perwujudan haluan negara.[]
Ahmad Zacky Siradj
Ketua Umum PB HMI Periode 1981-1983, Sekretaris Dewan
Etik Majelis Nasional KAHMI 2012-2017, dan anggota DPR RI Periode 2014-2019.
Tulisan ini dimuat dalam Alfan Alfian, dkk (penyunting), "Demi Kemaslahatan Bangsa; Bunga Rampai Ragam Gagasan Alumni HMI", Jakarta: Penjuru Ilmu, 2016
Komentar
Posting Komentar