Menuju Reintegrasi Ilmu Mengawal Kemuliaan Peradaban
(Sebuah Renungan Awal)
Ahmad Zacky Siradj
Ahmad Zacky Siradj
Dr.
Ending Bahruddin, Rektor Universitas Ibnu Khaldun Bogor, dalam pertemuan Dewan Pakar Ikatan Alumni UIN
(IKALUIN) di ruang Sekolah Passcarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, menceritakan tentang tingkat pemahaman mahasiswa yang
adalah putranya sendiri yang sedang menempuh kuliah di Fakultas Ekonomi UIN.
Pendek cerita bahwa putranya ini cukup pandai atau relatif faham mengenai teori
ekonomi, malah mampu menerangkannya. Tetapi ketika ditanyakan tentang bagaimana
hubungan antara teori-teori ekonomi tersebut dengan nilai-nilai ajaran Islam,
ternyata putra Ending ini tidak atau belum mampu memberikan jawaban atau
menjelaskannya.
Kemudian
Ending dalam pertemuan Dewan Pakar IKALUIN tersebut, melanjutkan pembicaraannya
dengan mengajukan pertanyaan kepada yang hadir—yang secara kebetulan pertemuan
Dewan Pakar IKALUIN ini dihadiri oleh sejumlah Guru Besar UIN—tentang bagaimana
kelangsungan program integrasi ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai Islam.
Karena menurutnya, bukankah program integrasi keilmuan ini menjadi agenda
penting yang dicanangkan setelah terjadinya perubahan IAIN menjadi UIN?
Atas
pertanyaan Ending tersebut, kemudian muncul tanggapan-tanggapan, sekaligus
berlangsung dialog di antara peserta pertemuan membincangkan masalah program
integrasi keilmuan ini. Mulai adanya informasi tentang telah ada yang
menyusunnya, tetapi masih dalam dataran filosofis seperti yang pernah
dituliskan oleh Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara. Di samping ada juga yang telah
mempraktekannya langsung dalam setiap kali memberikan kuliah, seperti pengalaman
Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo
sebagaimana yang dituturkannya. Namun ada pula yang berpendapat bahwa
integrasi keilmuan ini baru dapat terwujud dalam tempo yang relatif lama kurang
lebih 20 (dua puluh) tahunan, seperti disampaikan Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof. Dr. Moh. Matsna HS, MA.
Namun,
atas pendapat Prof. Matsna ini ada yang keberatan, sebab dua puluh tahun itu
nampaknya terlalu lama, artinya bisa dicapai lebih cepat dari pada itu. Memang
diakui bahwa –dalam pertemuan tersebut– mengenai lamanya jangka waktu ini belum
dijelaskan lebih lanjut, misalnya, dari mulai kapan dua puluh tahun ini, apa
dari sejak pertemuan Dewan Pakar IKALUIN (11 Januari 2013) yang dihadiri oleh
sejumlah Guru Besar itu, atau dari sejak berubahnya nama Institut ke
Universitas yaitu dari IAIN berubah menjadi UIN?
Bila
diasumsikan saja bahwa hitungan waktunya sejak perubahan nama IAIN berubah
menjadi UIN, barangkali jangka waktu dua puluh tahun itu, hanya tersisa
beberapa tahun saja, katakanlah di antara lima hingga sepuluh tahun, artinya
tidak terlalu lama lagi. Sehingga program integrasi keilmuan ini boleh jadi
menempati program prioritas yang harus dilaksanakan sesegera mungkin.
Sekurang-kurangnya agar kisah seperti yang dialami Dr. Ending dan putranya itu,
atau kisah-kisah yang serupa dengannya, tidak akan pernah ditemui lagi. Karena
memang—walaupun tidak berdasar penelitian, harapan orang-orang tua –termasuk
para mahasiswa tentunya—menguliahkan atau berkuliah di UIN ini sesungguhnya
ingin mendapatkan keluasan ilmu pengetahuan umum, selain tentu saja ingin pula
meperoleh kedalaman ilmu keagamaannya.
Komitmen
Sebagai Amanah
Harapan
mendapatkan keluasan ilmu umum seiring memperoleh kedalaman ilmu agama ini,
sepertinya gayung bersambut, karena—memang demikian dikemukakan secara tertulis
dalam Sejarah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—bahwa ternyata “UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta memiliki tugas khusus yang berbeda dengan perguruan tinggi
lain di Indonesia. Hal ini sesuai dengan latar belakang pembentukannya, yaitu
untuk memenuhi tuntutan pengembangan ilmu pengetahuan serta integrasi antara
ilmu agama dengan ilmu umum.”
Begitu
pula—di samping apa yang dikemukakan di dalam latar belakang sejarah UIN
tersebut—dirumuskan kembali dalam visinya, tentu sebagai proyeksinya ke depan
bahwa UIN: “Menjadi lembaga pendidikan tinggi terkemuka, berdaya saing tinggi
dan terdepan dalam mengembangkan dan mengintegrasikan aspek keislaman,
keilmuan, kemanusiaan, kemodernan dan keindonesiaan.”
Dalam
rumusan visi tersebut disebutkan kata mengintegrasikan yang menggambarkan suatu proses yang sedang
berjalan secara berkelanjutan—karena menggunakan bentukan kata keja—juga
dihubungkan dengan spektrum yang lebih luas dengan berbagai aspek sehingga
terkesan atau memperoleh gambaran dari rumusan visi tersebut, tentang bagaimana
sesungguhnya menempatkan lembaga UIN ini—katakanlah dalam hal ini sebagai yang
dicita-citakan—yaitu sebagai pusat studi tentang keislaman, tentang keilmuan,
tentang keindonesiaan dan pusat studi tentang peradaban (kemanusiaan dan
kemodernan). Jadi alangkah mulianya visi atau mimpi UIN ini di masa mendatang.
Semua ini sudah pasti menuntut komitmen yang kukuh dan menuntut kerja keras
yang sungguh-sungguh guna mewujudkannya.
Di
samping itu ternyata pula bahwa kata-kata integrasi ini diulangi lagi pada
rumusan misi UIN, terutama dalam bagian/point pertama, bahwa misi UIN adalah
untuk “melakukan reintegrasi keilmuan
pada tingkat epistimologi, ontologi dan aksiologi sehingga tidak ada lagi
dikhotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama.”
Dengan
rumusan misi tersebut, tentu kita maklum bahwa untuk melakukan kajian reintegrasi
ilmu—agar tidak terjadi pandangan yang dikhotomi—baik pada dataran
epistimologi, ontologi, dan aksiologi bukanlah hal yang mudah. Karena untuk
melakukan reintegrasi keilmuan tersebut, diperlukan keseriusan, ketekunan dan
kerja-kerja pengkajian yang mendalam dengan—yang tidak bisa dihindari—melibatkan
bebagai pihak disiplin ilmu. Namun demikian usaha kearah itu—sementara ini—sedang
berjalan dan terus dilakukan oleh UIN yang setiap tahunnya dapat
melahirkan/mengeluarkan sarjana-sarjana baru, sarjana yang tentu mempunyai
pemaham integratif antara ilmu agama dan ilmu umum hasil dari godokan para
pimpinan dan para dosen yang dilakukan dengan kesadaran dan tanggung jawab yang
tinggi serta dengan disertai dedikasi yang tiada henti dalam
keterbatasan-keterbatasannya yang ada.
Dengan
beberapa kali pengulangan kata-kata “integrasi” ini, baik dalam bentuk kata “integrasi”
itu sendiri, atau kata “mengintegrasikan” juga dalam bentuk kata “reintegrasi” menunjukan
bahwa ada semacam penguatan komitmen dari pihak perguruan tinggi—dalam hal ini
UIN sendiri—untuk secara sungguh sungguh mewujudkan program pengintegrasian
ilmu agama dan ilmu umum ini, karena merupakan amanah yang diemban UIN,
terutama bagi para pengelolanya, mulai dari pimpinan, dosen dan mahasiswanya
juga termasuk—tentu saja—para alumninya, karena sama-sama mengemban misi UIN
ditengah-tengah kehidupan masyarakat bangsa, malah lebih dari itu merupakan
tanggung jawab alumni sebagai kaum terpelajar.
Wacana
“Reintegrasi” Ilmu
Untuk mencoba masuk pada ikhtiar reintegrasi ilmu
katakanlah sebagai wacana awal dan mungkin masih perlu pengkajian lebih dalam
dan lebih luas, bila apa yang dikemukakan tentang sebutan asmâ’-asmâ’ (nama-nama
atau simbol-simbol) itu kemudian diartikan sebagai ilmu pengtahuan[1].
Karena dalam ayat tersebut diawali dengan kata “'allama” (mengajarkan
ilmu). Begitu pula kata “kullaha”, boleh jadi adalah keseluruhan ilmu
pengetahuan yang masih utuh atau terintegrasi. Artinya tidak memisahkan atau
membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, yang semua itu diberikan atau
diajarkan Tuhan kepada Adam sebagai bekal untuk melakoni hidup dan
kehidupannya.
Jika
mengikuti rangkaian ayat tersebut, yang menerangkan bahwa setelah Adam
memperoleh keutuhan ilmu pengetahuan, kemudian Tuhan memerintahkan Malaikat dan
Syetan untuk bersujud kepada Adam. Malaikat jelas mengikuti perintah Tuhan
tetapi setan tidak menurut (inkar) atas perintah-Nya. Dalam kata-kata
lain, Syetan tidak menghargai Adam walaupun Adam telah diberikan ilmu, karena
alasan asal mula penciptaanya.[2] Padahal Malaikat pun sebelumnya
menyampaikan protes tentang bagaimana kehidupan manusia itu dikemudian harinya
akan berbuat keonaran, permusuhan sehingga mengakibatkan saling bunuh membunuh
hingga bersimbah darah.[3] Apa yang digambarkan
Malikat ini ternyata memang kemudian terbukti, setelah Adam ketemu Hawa kembali
di Jabal Rahmah dan dianugrahi beberapa putra-putri terjadilah peristiwa—di
antara putra-putra Adam ini—saling bermusuhan akibat iri dengki diantara
putra-putranya itu.[4] Apa
yang disinyalir malaikat itu terbukti pula dalam kehidupan ummat manusia di
berbagai pelosok di dunia.
Tetapi
pertanyaannya kemudian, mengapa Malaikat mau bersujud kepada Adam? Yang pasti
itu perintah Tuhan atau mungkin saja karena jawaban Tuhan, “Sesungguhnya aku
lebih mengetahui dari apa yang kamu tidak ketahui.”[5] Atau mungkin pula karena
Adam telah diajarkan ilmu pengetahuan secara integral/menyeluruh. Karena kita sama-sama
mengetahui bahwa yang memiliki ilmu pengetahuan itu oleh Allah akan ditinggikan
derajatnya.[6]
Cerita
primordial tetang Adam dalam Al Quran ini, terutama tentang bagaimana kemuliaan
Adam sebagai orang yang berilmu, boleh dikatakan bahwa keberadaan ilmu
pengetahuan dalam keadaan yang terintegrasi—baik ilmu agama atau ilmu umum—merupakan
sejarah awal pengetahuan yang dimiliki ummat manusia.
Dengan
Tuhan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, tentu termasuk berbagi
cabang-cabang ilmunya, yang secara empiris terbukti bahwa cabang ilmu apa pun—seperti
yang kita saksikan—dapat dipastikan bahwa mereka memiliki derajat yang lebih
tinggi dari manusia pada umumnya. Ini menggambarkan bahwa ilmu mempunyai posisi
tersendiri yang kemudian membawa pengaruh bagi yang memilikinya. Hal ini senada
dengan sindiran Tuhan yang bernada pertanyaan yang dialamatkan kepada kita umat
manusia bahwa “Apakah sama antara orang-orang yang berilmu dengan orang yang
tidak berilmu?”[7]
Kembali
pada pemahaman[8] maka
walaupun kedudukan iman dan ilmu ini sama-sama dapat mengangkat derajat
kemulyaan manusia tapi terhadap orangnya—antara yang orang beriman dan orang
yang berilmu– terjadi perbedaan. Bagi orang-orang yang beriman terjadi proses
seleksi—dalam hal ini Tuhan menyeleksinya—sehingga hanya ada sebagian saja di
antaranya yang memiliki derajatnya yang luhur. Hal ini ditegaskan dengan adanya
kata-kata “minkum” yang kira-kira artinya di antara kamu umat manusia
yang beriman.
Sementara
bagi yang berilmu pengetahuan atau orang-orang yang berilmu, tidak ada kata “minkum”
dengan demikian berarti Tuhan mengangkat keluhuran derajat bagi orang-orang
yang berilmu itu, berlaku bagi seluruh orang-orang yang berilmu, dengan tidak
menyeleksinya atau tidak memberikan pengecualian, baik latar belakang agama,
adat istiadat, suku bangsa, warna kulit dan bangsa-bangsanya, jadi seluruh umat
manusia. Bila dikaitkan antara Adam yang
dianugerahi—diajarkan Tuhan tentang ilmu—dengan seluruh umat manusia yang
berilmu maka tetap konsep ilmu dan orang-orang yang berilmu itu tetap sama,
diangkat Tuhan derajat kemuliaannya di antara makhluk-makhluk lain ciptaan
Tuhan.
Ini
berarti bahwa, ilmu pengetahuan itu awalnya terintegrasi yang kemudian dalam proses perkembangan sudah terbagi-bagi
dan terjadi apa yang disebut dengan cabang-cabang ilmu pengetahuan yang terurai
seakan terpisah dari sumbernya, katakanlah dari dasar-dasar filsafatnya. Namun
tetap saja bagi orang-orang yang berilmu, kendati hanya menguasai sebagian kecil
dari cabang ilmu tersebut—karena kesejatian dari qodrat ilmu yang sejak
asalinya utuh dan dapat memulyakan manusia—tetap dapat memperoleh keutamaan dan
diangkat derajatnya oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, sebagaimana yang terbukti dalam
kehidupan keseharian umat manusia.
Malahan
penguasaan ilmu yang sesuai terspesialisasi itu, antara satu orang dengan yang
lainnya atau kelompok masyarakat yang berkeahlian di bidang ilmu tertentu dengan
kelompok lain yang memiliki keahlian di bidang ilmu yang lainnya. Begitu juga
anatara orang yang berilmu dengan umumnya masyarakat yang kurang beruntung
mendapatkan ilmu misalnya, tentu akan menunjukan perbedaan. Tetapi dalam
konstruksi kehidupan masyarakat karena saling membutuhkan tetap berada dalam
konstruksinya yang terintegrasi. Sebagaimana sejarah umat manusia membuktikan
pada kita bahwa setiap era dalam sejarah perjalanannya, akan terlahir atau akan
hadir orang-orang yang berilmu yang memberi inspirasi bagi kehidupan masyarakat
umat manusia. Begitu pula di setiap bangsa-bangsa di dunia ini akan selalu ada
atau hadir otang-orang yang berperan mencerdaskan kehidupan bangsanya, dengan
kata-kata lain mereka itulah guru kehidupan.
Kenapa
Terjadi “Pemisahan” Ilmu?
Bila
kita bertanya, mengapa proses perkembangan ilmu kemudian mengalami keteruraian
yang demikian rupa banyak cabangnya? Untuk menjawab persoalan ini tentu banyak
hal yang kiranya dapat menjelaskan tentang hal ini. Boleh jadi cabang-cabang
ilmu ini berkembang, disebabkan kemampuan manusianya sendiri, sesuai daya serap
akal manusia yang sangat berbeda-beda, masing-masing orang mempunyai potensi
kecerdasan pikirannya masing-masing. Selain itu proses pewarisan ilmu, dari
generasi ke generasi berikutnya mungkin saja terjadi penyusutan atau
tergradasi. Besar kemungkinan pula ketika Adam mewariskan ilmu yang diajarkan
Tuhan yang “kulluha,” kepada anak-anak keturunannya, menemui
keterbatasan-keterbasan misalnya intensitas mendidiknya, luas atau sempit
kandungan ilmu yang diwariskannya, juga keterbatasaan daya serap—kecerdasan akal
pikiran—dari masing-masing anak keturunannya itu. Sebagaimana kejadian serupa
ini kita saksikan juga di dunia pendidikan yang kita alami bersama dewasa ini.
Bila
demikian adanya, maka integrasi ilmu apa masih dimungkinkan lagi dapat
terwariskan pada setiap orang. Mungkin yang ada
terwarisankan adalah hanya kerangka dasar atau pola pikirnya (school
of touch) saja sebagai dasar untuk menggambarkan terintegrasinya ilmu agama
dengan ilmu umum. Ini berarti bahwa kehadiran cabang-cabang ilmu—kendati hanya
dimiliki oleh orang-perorang atau kelompok masyarakat—dapat tetap terintegrasi
dengan ilmu agama karena memang selain menjadi suatu keharusan kehidupan
manusia atau katakanlah sebagai suatu sunnah Allah. Juga karena pola
pikir manusia secara paradigmatis menuntut bertemunya ilmu umum dengan
nilai-nilai agama.
Berkembangnya
cabang ilmu seperti kepandaian bercocok tanam atau bertani, lalu menjadi
petani, keahlian ini didapat melalui proses pewarisan atau pendidikan resmi
tapi juga bisa diperoleh secara otodidak, juga kepandaian melaut mencari ikan
sebagai nelayan dan keahlian-keahlian lainnya yang lahir atas pengetahuan atau
penguasaan ilmu di bidangnya. Akan tetapi dalam waktu yang bersamaan
keahlian-keahlian keilmuan tersebut,
bersentuhan juga dengan sistem kepercayaan masyarakatnya sehingga
keimanan atau nilai-nilai agama yang dianutnya juga ikut memberi warna atau
sekurang-kurangnyanya memberikan landasan normatif bagi ilmu atau keahlian yang
dimilikinya itu.
Berkaitan
dengan hal itu terdapat keterangan yang menganjurkan bahwa bila kamu tidak atau
belum mengetahui dalam satu persoalan maka bertanyalah kepada ahlinya.[9] Begitu pula keterangan
bahwa ketika Rasulullah ditanya tentang persoalan yang berkaitan dengan
pertanian maka Rasulullah menjawab kamu lebih mengetahui tentang urusan
duniamu.[10] Keterangan ini
mengisyaratkan pada kita bahwa ilmu memang sudah terbagi dan masing-masing
orang memiliki keahliannya masing-masing, mulai keahlian yang sangat canggih,
katakanlah sangat filisofis, hingga keahlian yang sangat teknis sekalipun,
seperti ahli komputer, ahli reparasi handphone dan lain sebgainya.
Sebagai
ilustrasi saja misalnya, seorang profesor yang sedang membuat karya ilmiah
dengan menggunakan komputer tiba-tiba terjadi masalah dengan komputernya. Sudah
dapat dipastikan bahwa sang profesor tersebut akan mendatangi ahli computer
untuk memperbaiki atau sekurang-kurangnya menanyakan kenapa komputernya itu ujug-ujug bermasalah. Baik profesor maupun ahli
komputer dalam kejadian ini, bisa bertemu atau memiliki titik temu. Di sinilah
peranan ilmu atau bidang keahlian yang dimiliki dapat mengangkat setiap orang
pada tingkat derajatnya masing-masing. Sang profesor menyerahkan komputernya
untuk diperbaiki oleh ahli komputer. Demikian pula kiranya di bidang yang
dikuasai ahli-ahli lainnya yang
masing-masing memiliki hubungan yang mutual simbiotis sehingga pada gilirannya,
melahirkan efek sinergis yang menunjukan pada kita bahwa walaupun terbaginya cabang-cabang
ilmu pengetahuan itu di satu sisi, tetapi pada sisi lain masing-masing keahlian
itu ternyata juga tetap saling membutuhkan dan saling tergantung sehingga dapat
menggambarkan pula adanya keterkaitan yang saling melengkapinya dan pada
gilirannya juga dapat menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan itu menyatu kembali
sebagai satu kesatuan yang utuh.
Reintegrasi
Ilmu, Sebagai Sebuah Kerangka Pemikiran
Pendekatan
lain mengenai pemisahan ilmu agama dan ilmu umum ini dari mulai akar filsafat
keilmuannya, teori-teorinya, atau proses mempelajarinya atau juga proses
aplikasinya. Sebab sebagaimana Adam diajarkan Tuhan maka ilmu itu sebagai
kesatuan yang bersumber dari Maha Pencipta. Boleh jadi tidak ada pemisahan tapi
dapat dibedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, karena “kullaha” bila
diartikan “semua-semuanya” baik itu ilmu agama maupun ilmu umum, maka
masing-masing memiliki obyektifikasinya sendiri-sendiri.
Terkisahlah
seorang yang melaksanakan puasa untuk meningkatkan amal ibadah puasanya seperti
shalat-shalat sunnah selain sunnah tarawih, berusaha agar shalat
fardhu juga tepat waktu dan selalu berjama'ah, namun melaksanakan ibadah
puasa yang sempurna dengan amalan-amalannya yang utama kemudian dipelajari,
dipahami dan didalaminya kembali pengetahuan tentang puasanya kembali
disegarkan, sehingga ilmu-ilmu agama menjadi strategis serta fungsional dalam
hubungannya dengan Tuhan.
Untuk
menjaga stamina dalam menjalankan ibadah puasa membaca menu makanan dan minuman
yang baik, halal dan menyehatkan. Karena sebagai pekerja keras tidak ingin
dengan puasa ini menurunkan prestasi dan produktifitasnya sehingga misalnya,
ilmu managemen yang telah dipelajarinya kembali disegarkan dalam ingatannya,
agar setiap pekerjaannya dapat lebih efektif dan efisien, hubungannya dengan
teman sejawat tetap dalam disiplin kerja yang tinggi dan tidak kalah
produktifitasnya dari waktu atau bulan-bulan diluar bulan ramadhan.
Ilustrasi
tersebut menggambarkan bahwa ilmu-ilmu
agama berjalan beriringan dengan ilmu umum. Kedua-duanya menjadi penting dan kedua-duanya
saling mengisi dan melengkapi secara subtantif. Sehingga baik hubungan dengan
Tuhan maupun hubungan dengan sesama manusia, menggunakan pehamaman ilmu. Ini berarti dalam aplikasinya baik ilmu
agama dan ilmu umum tidak dapat dipisahkan.
Ilustrasi
di atas ini secara gamblang di jelaskan dalam al-Qur’an surah Ali Imran ayat 11,[11] maka celakah manusia yang
tidak terus menjalin hubungannya dengan Tuhan dan menjalin hubungannya dengan
sesama manusia. Jalinan hubungan dengan Tuhan itu berada di wilayah ilmu-ilmu
agama. Sementara menjalin hubungan dengan sesama manusia berada di wilayah ilmu-ilmu umum. Bila demikian
kerangka pikirnya yang diturunkan dari ayat tersebut maka tdk ada dikotomis
antara ilmu agama dan ilmu umum. Selain itu juga antara ilmu agama dan ilmu
umum berada dalam jalur intergrasinya secara utuh.
Keterangan
al-Qur’an dalam surah Ali Imran ayat al Imran 11 ini juga memberi perspektif
yang jauh ke depan kealam keabadian sebagaimana pula bunyi hadis bahwa “bila
ingin kebahagiaan dunia maka dapat diperoleh dengan ilmu, kebahagiaan di
akhirat juga dengan ilmu dan kebahagiaan keduanya dunia dengan akhirat juga
dengan ilmu”.[12]
Perspektif ilmu di sini jelas menunjukan keterpaduan yang satu dengan yang
lainnya—ilmu agama dan ilmu umum—tidak dapat dipisahkan.
Dengan
uraian yang sederhana tersebut tentunya sudah dapat kiranya membantu tentang
bagaimana reintegrasi ilmu agama dan ilmu umum ini dapat membentuk pola pikir
atau kerangka berpikir sesorang sehingga cara pandangnya (mindset) dan
cara bersikap tidak lagi dalam kerangka yang dikhotomis.
Reintegrasi
Ilmu Langkah Menuju Kemuliaan Peradaban
Kemajuan
ilmu sejatinya dapat membawa kemasyhuran bagi suatu masyarakat bangsa. Apabila
apa yang dinformasikan tentang keunggulan zaman-zaman Islam klasik bahwa dunia
Islam saat itu telah mampu mengambil, mempelajari dan mengembangkan filsafat
rasional yang tumbuh dan berkembang di Yunani. Kemudia dalam pangkuan sarjana-sarjana
muslim dikembangkan lagi sehingga melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang dalam waktu bersamaan di padukan dengan dimensi ruhani yakni dengan mengembangkan nilai-nilai spritual
yang lahir dari nilai-nilai agama seperti ilmu tasawuf.
Kenyataan
tersebut menjadikan dunia Islam berkesempatan memimpin dunia, memimpin
peradaban umat manusia. Bukti sejarah tentu dapat menjadi inspirasi, dorongan
kuat bahwa reintegrasi ilmu baik aspek epistimologi, antologi atau aksiologi,
diharapkan dapat lahir kembali oleh para pemikir besar dunia Islam yang dapat
memberikan pencerahan kepada dunia, pencerahan bagi ummat manusia kini dan
mendatang.
Memang
kita akui bahwa setiap bangsa-bangsa di dunia mengalami pasang surut
kemajuannya disebabkan oleh maju mundurnya dalam penguasaan ilmu pengetahuan.
Sementara kita mengetahui pula bahwa kemajuan bangsa-bangsa itu sering
dilukiskan dengan gambaran tingkat kemajuan peradabannya. Sedangkan ciri yang
sangat menonjol tentang tingkat kemuliaan peradaban yang luhur bagi suatu
bangsa di antaranya adalah dapat menguasai dan memajukan ilmu pengetahuan,
kemudian dapat membuktikan keluhuran ruhani dalam kehidupan spritualnya atau
tingkat pengamalan religinya sangat sangat tinggi, begitu pula dalam masyarakat
tersebut telah lahir secara subur hadir dalam realitas karya-karya inovatif
yang membawa seluruh rakyat negara bangsa tersebut ke dalam suasana kehidupan
yang lebih damai, berkeadilan, berkemakmuran sehingga tidak sedikitpun
masyarakat bangsa ini merasa cemas terhadap masa depan kehidupannya.
Rekam
jejak bangsa-bangsa tersebut ada yang telah punah ditelan zaman karena ulah
masyarakat manusia sendiri. Seperti karena akibat peperangan atau mungkin juga
karena alam yang tidak bersahabat karena mereka tidak mampu menahan terpaan
alam seperti dahsyatnya bencana yang terus datang secara bertubi-tubi. Namun di
sisi lain jejak keunggulan peradaban itu juga ada yang masih tersisa, masih
terdapat bukti peninggalannya hingga sekarang, sebagaimana dapat disaksikan
rekam jejak masyarakat bangsa yang pernah mengalami tingkat peradabannya yang
luhur dan mulia tersebut.
Atas
dasar itu maka gambaran peradaban masyarakat bangsa, peradaban umat manusia
yang hadir di setiap negara bangsa di dunia, baik yang pernah jaya, berabad
lampau, maupun yang nampak tanda-tandanya kini, atau pun yang kiranya akan
terwujud nanti di masa datang, sepertinya tidak dapat mengingkari ciri dari
kemuliaan peradaban tersebut, yakni penguasaan atas ilmu dan teknologi
unggulan, seiring dengan kesadarannya yang tinggi pada tingkat pengamalan
nilai-nilai spritual. Sehingga boleh dikatakan bahwa reintegrasi ilmu antara
ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum merupakan kunci pengawal menuju kemulyaan
peradaban ummat manusia.
Dalam
kaitan itulah, jika UIN bernar-benar melaksanakan program reintegrasi ilmu dan
memang itu yang seharusnya dilakukan oleh UIN, sesungguhnya UIN telah
menjadikan dirinya sebagai lembaga perguruan tinggi yang menyemai benih-benih
kemuliaan peradaban masyarakat bangsa Indonesia, sekaligus peradaban umat
manusia. Untuk itu kita perlu terus menyegarkan latar belakang sejarah, visi dan
misi dari berdirinya UIN sendiri, yakni melakukan reintegrasi ilmu agama dan
ilmu umum agar dapat mencegah pandangan yang dikotomi. Dengan demikian segera
nampak dari lulusan-lulusan UIN yang kemudian berperan menjadi agen perubahan
menuju kemuliaan peradaban. Sehingga tidak akan pernah terdengar lagi adanya
cerita, seperti pengalamannya Dr. Ending Bahruddin yang dinukil di awal tulisan
ini. Semoga!
Catatan
Akhir
[1]
Q.S. al-Baqarah [2]: 31: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakan kepada para Malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memeng orang-orang
yang benar!".
[2]
Q.S. al-Hijr [15]: 29-33: “Maka apabila aku telah menyempurnakan
kejadiannya (Adam), dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud . Maka bersujudlah Para Malaikat itu
semuanya bersama-sama, kecuali iblis. ia enggan ikut besama-sama (malaikat)
yang sujud itu. Allah berfirman: “Hai iblis, apa sebabnya kamu tidak (ikut
sujud) bersama-sama mereka yang sujud itu?” Berkata Iblis: “Aku sekali-kali
tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah
liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”
[3]
Q.S. al-Baqarah [2]: 30: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para
Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka
bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu
tidak ketahui."
[4]
Q.S. al-Maidah [5]: 30: “Maka hawa
nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu
dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.”
[5]
Q.S. al-Baqarah [2]: 30
[6]
Q.S. Al Mujaadalah [58]:11): “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan
kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan:
"Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
[7]
Q.S. al-Zumar [39]: 9: “(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung)
ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena
takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah,
"Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?", Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.”
[8]
Q.S. Thaha [20] 114 6): “Wahai Tuhanku, tambahkanlah bagiku ilmu”
[9]
Q.S. Nahl [16]: 43: “Dan tidaklah Kami mengutus Rasul-rasul sebelummu (wahai
Muhammad), melainkan dari kalangan orang-orang lelaki, yang Kami wahikan kepada
mereka. Oleh itu bertanyalah kamu (wahai golongan musyrik) kepada orang-orang
yang berpengetahuan ugama jika kamu tidak mengetahui.“
[11]
Q.S Ali Imran [3]: 11: “(Keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir'aun
dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami; karena itu
Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan Allah sangat keras
siksa-Nya.”
[12]
Menurut satu keterangan hadi sini berasal dari Imam Asy-Syafi’i
sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab dan
Tahdzibul Asma`. “Siapa yang menginginkan dunia, maka hendaknya menuntut ilmudan siapa yang menginginkan akhirat, maka
hendaknya ia menuntut ilmu”.
* Penulis adalah Ketua
Umum IKALUIN Jakarta. Menyelesaikan Sarjana Lengkap di Fakulktas Tarbiyah IAIN
Syarif Hidayatullah Jakarta (1980). Peran menjadi anggota MPR Fraksi Utusan Golongan
(1999-2004) dan salah seorang Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja MPR yang
membidangi Amandemen UUD 1945.
** Tulisan ini dimuat di Jurnal Bijak IKALUIN, Edisi
2, Juli 2012/Sya'ban-Ramadhan 1434 H
Komentar
Posting Komentar