Keberagaman Melahirkan Kesalehan Politik
Drs. Ahmad Zacky Siradj
Ketua Umum IKALUIN Jakarta
(2012-2016, 2016-2020), Anggota DPR RI Fraksi Golkar.
“Berkembangnya
etika kewarganegaraan yang berkeadaban, hidupnya semangat persatuan, serta
hidupnya semangat gotong-royong akan mampu memberi kontribusi terhadap
berkembangnya budaya kewarganegaraan yang mulia, karena politik adalah tangga
kemulian.”
“Mungkinkah antar kekuatan partai
politik mengutamakan kesalehan dalam berpolitik sehingga tak membuat gaduh jagat
politik nasional dengan isu-isu yang memungkinkan perpecahan secara sosial di
masyarakat?” Pertanyaan ini dikemukakan oleh Zuly Qodir dalam artikelnya yang
berjudul “Kesalehan Politik Kewargaan” (Kompas,
13 Jannuari 2018, h. 6). Apa yang dipertanyakannya itu cukup relevan dengan
kondisi masyarakat bangsa dewasa ini yang sedang berikhtiar menumbuhkan
bangunan demokrasi yang sehat dan bermartabat. Seiring dengan itu, sejarah
perkembangan politik di tanah air kita senantiasa diwarnai dengan adanya tarik
menarik antara bagaimana menumbuhkan etika dan moral politik dengan prilaku
politik yang kental transaksional (politik uang).
Ada dua hal yang mungkin dapat
menjadi sorotan kita untuk mendekati pertanyaan di atas, yang memerlukan
perhatian dan usaha yang terus menerus untuk membangun nilai-nilai
keindonesiaan, selain mengembangkan kesadaran dan komitmen baru dalam menyikapi
fenomena politik yang kental dengan politik transaksional.
Pertama, membangun
nilai-nilai keindonesiaan menjadi demikian penting karena masyarakat bangsa
kita ini ditakdirkan menjadi masyarakat yang sangat beragam. Ragam etnis
bersuku-suku bangsa, ragam budaya, beraneka adat istiadat, ragam agama yang termasuk
di dalamnya agama-agama besar dunia, dan ragam daerah yaitu antara pedalaman
yang berbukit, bergunung maupun wilayah pesisir yang dekat dengan pantai.
Keragaman ini tentu saja telah menyumbangkan pandangan dan sikap hidup
masyarakat setempat yang di antara sikap itu adalah sikap kearifan dan
kesalehan-kesalehan sosial bagi kehidupan masyarakat bangsa.
Kesalehan dari suku-suku bangsa itu,
seperti tercermin dalam kearifan dari suku Minang “ringan sama dijinjing berat
sama dipikul” atau nilai-nilai dalam masyarakat Sunda “silih asah (saling mencerdaskan), silih asih (saling mengasihi/menyayangi) silih asuh (saling membesarkan/mendewasakan) dan silih wangi (saling
mengharumkan/mewangikan).” Nilai-nilai kesalehan yang menjadi kearifan lokal (local genius) itu merupakan ekspresi
dari ajaran agama (Islam), seperti penjelasan Al-Qur’an: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 2) dan “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah sekumpulan orang mencela kumpulan yang lain, boleh jadi yang
dicela itu lebih baik dari mereka.” (Q.S Al-Hujurat [49]: 11).
Nilai kesalehan sosial seperti itu
jelas akan dapat mengukuhkan nilai-nilai keindonesiaan seperti nilai
kemanusiaan yang berkeadaaban serta nilai persatuan Indonesia. Sebagaimana
sejarah telah mencatat ada beberapa peristiwa yang boleh jadi sebagai tonggak
yang membangun persatuan ini, seperti Kebangkitan Nasional (1908), Sumpah
Pemuda (1928) Proklamasi Kemerdekaan (1945), dan Mosi Integral Natsir (1950).
Tentu peristiwa sejarah ini hadir dari kepedulian dan keterpanggilan bagi
pentingnya menjaga dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia
yang secara tidak langsung inilah bentuk dari kesalehan kebangsaan karena
kesalehan sosial masyarakat bangsa.
Untuk itu menumbuhkan nilai-nilai kebangsaan
atau keindonesiaan menjadi sangat strategis karena pada saat yang sama
menumbuhkan pula nilai-nilai keberagaman (kebhinnekaan) baik nilai-nilai
kearifan lokal, nilai-nilai budaya, maupun nilai-nilai agama dengan cara
membangun kerukungan hidup di antara pemangku kepentingan dari nilai-nilai
tersebut. Dengan begitu maka perlunya memelihara kerukunan hidup beradat
istiadat, berbudaya dan beragama adalah keniscayaan. Hingga siapa saja yang
menghina, menodai, dan menista adat istiadat, nilai-nilai budaya maupun ajaran
agama, maka ia telah merusak kebhinnekaan dan ini berarti pula menghancurkan
Indonesia. Dengan kata lain dapat meruntuhkan nilai-nilai keindonesiaan yang
menjadi sumber kesalehan masyarakat bangsa.
Kedua, persoalan
yang dapat memelihara kesalehan sosial dalam keragaman itu berkaitan dengan
politik. Karena politik sementara ini dipersepsikan sebagai faktor utama
penyebab terjadinya kesenjangan nilai dan krisis moral masyarakat sehingga
tatanan kenegaraan menjadi “tersumbat”, tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Seperti ungkapan bahwa politik itu kotor, politik itu yang melahirkan dan
menyuburkan koruptor, politik itu jahat, dan anggapan-anggapan lainnya tentang
politik ini. Memang ungkapan-ungkapan itu tidak seluruhnya keliru karena memang
ada indikatornya yang disaksikan oleh masyarakat bangsa sebagai gejala
kemanusiaan yang kurang amanah di dalam mengemban tugasnya. Akan tetapi bila
gejala yang cukup merebak ini terus berkembang sejadi-jadinya, maka masyarakat
bangsa ini akan mengalami kepunahan nilai-nilai kemuliaannya.
Menyadari akan hal itu maka kita
sebagai masyarakat bangsa harus merasa terpanggil untuk menyegarkan kembali
kesadaran dan komitmen bahwa politik itu adalah tangga kemuliaan sebagaimana
dicontohkan oleh para pendiri bangsa. Berbakti dan mengabdi kepada bangsa dan
negara adalah ibadah. Inilah yang menjadi benih kesalehan dalam bernegara,
sehingga bila terjadi praktik politik uang, bukan hanya merusak tatanan nilai
demokrasi dan ketatanegaraan, tetapi juga dapat mendegradasi nilai kemanusiaan
itu sendiri, di mana nilai ibadah dan nilai-nilai kesalehan kebangsaan sirna
dengan sendirinya.
Kedaulatan
adalah Kemuliaan
Sebagai ilustrasi mengenai politik transaksional
atau politik uang ini telah merebak hampir menyeluruh pada setiap lapisan
masyarakat. Di masyarakat adat misalnya, banyak upacara-upacara adat yang
disponsori oleh para politisi. Pada hal sesungguhnya upacara adat itu merpakan
ritual pengorbanan yang berdimensi sakral (menurut ukuran adat) tetapi
kesakralan pengorbanan telah menjadi artifisial karena pemangku adat sudah terjerat
kontrak politik untuk memberikan suaranya kepada yang mensponsori upacara adat
tersebut.
Demikian pula yang terjadi pada
kalangan pimpinan lembaga keagamaan apakah itu di lingkungan pesantren ataupun
di kalangan pengurus masjid yang mentransaksikan suara para santri atau
jama’ahnya dengan pembangunan lokal kelas atau pondok, begitu pula dengan alat
pengeras suara atau karpet sajadah untuk masjid.
Demikian pula di kalangan lapis
bawah para petani misalnya, yang mengatakan bahwa dari pada pergi ke TPS lebih
baik mereka nyangkul disawah, kecuali misalnya mereka ke bilik suara itu sudah
mengantongi uang dari calon untuk memenuhi keperluan satu hari itu, yang dalam
ukuran tertentu sama dengan upah satu hari kerja. Tidak terkecuali dari
kalangan kaum terpelajar yang melaksanakan transaksional politik ini, bahkan
dalam batas tertentu menjadi agen pencarian dan pengumpul suara, hingga
menawarkan jasa, mereka berani bilang kepada para calon menawarkan jasa: “ini
kami sudah memiliki jaringan karena itu berani berapa atau wani piro?”.
Disadari atau tidak, sepertinya
politik transaksional telah menjadi sikap politik yang “menyimpang” dari alur
politik yang didambakan masyarakat bangsa. Seperti pada setiap kali ada
pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, telah dianggap sebagai “musim panen”,
malah ada yang jauh hari mereka mendapatkan, ada yang waktu fajar (serangan fajar) ada pula yang menjelang
pencoblosan. Praktek politik serupa ini seperti gayung bersambut, ada yang
datang dari para calon tetapi ada juga yang datang dari masyarakat sendiri.
Sehingga tidak sedikit yang berpandangan bahwa dimulai dari adanya praktek
politik seperti inilah dinataranya yang kemudian melahirkan maraknya korupsi
pada instansi-instansi kenegaraan kita, yang akibatnya jelas sangat menguras
dan merugikan uang negara. Sebab dengan jalan korupsi para koruptor berdalih
untuk dapat mengembalikan dana kampanye khususnya uang yang dipakai membeli
suara itu.
Mungkin
indikasinya sebagaimana ditunjukkan dan berdasarkan data Kementerian Dalam
Negeri, pada 2015 terdapat 343 kepala daerah yang berperkara hukum baik di
kejaksaan, kepolisian, mau pun Komisi Pemberantasan Korupsi. Sementra KPK sendiri
menyebutkan jumlah kasus korupsi yaitu 184 pelaku dari swasta, 175 pejabat
eselon I-II, dan 144 orang dari Anggota DPR/DPRD yang diproses sampai Februari
2018.
Ada semacam kekhwatiran jika politik uang ini berlanjut, maka
dampak lebih jauh nampaknya dapat berpengaruh terhadap eksistensi negara.
Karena bila setiap orang (rakyat Indonesia) menukar atau menjual suaranya
dengan uang, atau barang/bangunan maka sudah menjual atau menukar
kedaulatannya, sementara menjual/menukar kedaulatan berarti menjual negara,
sehingga eksistensi negara menjadi terancam, malah bisa lenyap dengan
sendirinya. Kekhawatiran ini terlalu jauh memang atau boleh dikatakan mustahil.
Tetapi bila melihat ketidakberdayaan negara sementara ini, menjadi bukti yang tidak begitu saja bisa disangkal. Di
mana pemodal begitu kuat dan dominan, tanah air yang subur makmur belum
sepenuhnya diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena bukan
jumlah yang sedikit rakyat yang masih miskin.
Di sisi yang lain, sikap politisi
juga partai politik yang sebelumnya berniat berkhidmat melaksanakan pengabdian
dan ibadah agar kehadiran dirinya dapat lebih bermanfaat bagi yang lain di
kancah politik yang mereka gauli. Tetapi kenyataan berbicara lain, semua
sepakterjangnya itu ditukar dengan nilai materi maka gugurlah niatnya yang mulia
tadi. Kenyataan ini jelas dapat meruntuhkan nilai juang dan nilai pengabdian
baik bagi calon maupun bagi masyarakat pemilih. Sementara bila dilihat dalam
hubungannya dengan estafet perjuangan dari para pendiri bangsa, maka praktek
politik uang ini ahistoris, jelas-jelas tidak lagi menghargai dan menghormati
para pendiri bangsa, para pahlawan kusuma bangsa yang telah mengorbankan jiwa,
raga dan hartanya bagi mewujudkan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Yang
ternyata oleh generasi berikutnya kedaulatan telah menjadi barang komoditi yang
dijual belikan.
Kenyataan inilah yang kemudian juga
dapat menurunkan nilai-nilai keindonesiaan dan merontokan cita-cita berbangsa
dan bernegara, membunuh kearifan-kearifan lokal dan menenggelamkan pesan-pesan
agama, serta dapat pula memandulkan nilai-nilai ideologi bangsa yang pada
gilirannya bangsa ini tidak lagi memiliki akhlak mulia sehingga kesalehan yang
lahir dari kebhinekaan/keberagaman menjadi sirna.
Jika ini yang kita alami di alam
demokrasi yang kita tempuh selama ini maka sesungguhnya masyarakat bangsa kita
ini sedang berada di tepi jurang yang sedang menghadapi tantangan atau ancaman
yang berat. Namun begitu bila kemudian bangsa ini dapat menghadapinya bukan
saja dapat mewarisi sikap para pendiri negara bangsa ini tetapi lebih dari dapat
memperoleh kejayaannya, tetapi jika sebaliknya maka negeri ini akan jatuh masuk
jurang dengan kehilangan identitas kepribadiannya. Mungkin saja luas wilayah,
jumlah penduduk dan simbol yang lainnya dapat dengan mudah dikenal tetapi kepribadian
bangsa ini sepertinya tidak akan lagi nampak menyata sebagai bangsa yang
memiliki nilai-nilai kebudayaan yang luhur.
Pentingnya
Pendidikan Politik
Agar fenomena politik seperti yang
digambarkan di atas tersebut tidak terus berkelanjutan, maka bagi masyarakat
diperlukan penyegaran politik atau pendidikan politik. Sebab bagi negara
berkembang seperti Indonesia pendidikan politik menjadi sesuatu yang niscaya.
Karena perkembangan kehidupan politik di tanah air membutuhkan respon yang
cepat dari para warganya, tidak terkecuali di Indonesia. Terlebih saat ini
banyak perguruan tinggi maupun fakultas-fakultas di sejumlah perguruan tinggi
menyediakan mata kuliah yang bermuatan pendidikan politik, namun yang
dibutuhkan sesungguhnya adalah pendidikan politik dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaimana nilai-nilai masyarakat Indonesia bisa menyatu dalam kedemokratisan yang dibutuhkan dalam praktek
politik. Bahkan nilai-nilai masyarakat kita sangat mendukung hal tersebut.
Sebut saja nilai-nilai gotong royong, nilai musyawarah, nilai persatuan,
semangat toleransi, dan lain sebagainya merupakan kearifan lokal yang telah
hidup dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia sejak berabad-abad silam.
Lalu apa yang menjadikan politik kita begitu susah untuk diisi dengan nilai-nilai
tersebut?
Boleh
jadi, apa yang dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno (2003) karena tidak adanya etika politik.
Menurutnya bahwa etika politik dapat membantu usaha masyarakat dan
mengejawantahkan ideologi negara
yang luhur ke dalam realitas politik yang nyata. Misalnya, dengan merefleksikan
apa inti keadilan sosial, apa dasar etis kerakyatan, bagaimana kekuasaan harus
ditangani supaya sesuai dengan martabat manusia, dan sebagainya. Dalam kancah
perdebatan masyarakat tentang apa implikasi nilai-nilai dasarnya, etika politik
dapat membantu dengan menjelaskan implikasi dari pelbagai alternatif dan
pandangan yang kontroversial. Justru apabila suatu bangsa bertekad untuk
membangun kehidupannya sesuai dengan dan berdasarkan nilai-nilai luhurnya,
etika politik dapat menyumbangkan keahliannya dalam bidang normatif etis
untuk merealisasikan tekad itu.
Sementara bila didekati dari
perspektif pendidikan yang langsung membina krakter warga negara, kiranya perlu
dicermati pendapat Louise O. Kattsoff (1986) yang menjelaskan bahwa banyak
pendidikan dewasa ini didasarkan atas suatu pandangan dunia bahwa pencarian
nafkah merupakan kebaikan tertinggi, menghasilkan seorang ahli yang cakap,
terlampau sering menjadi tujuan pendidikan yang hendak kita capai. Tetapi
sayang, kita cenderung lalai mendidik ahli-ahli yang menyebabkan kita tambah
bijaksana. Mereka dapat mengajarkan kita “bagaimana cara berbuat” (know how), tetapi bukannya “mengapa
berbuat demikian (know why). Di sini
Kattsoff memaparkan bagaimana pendidikan seharusnya mampu mencetak manusia yang
lebih baik, berkarakter, dan mengaplikasikan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang
tumbuh di lingkungannya. Pendidikan seharusnya membawa manusia menyadari
bagaimana ia menjalankan perannya dengan baik, tidak terkecuali sebagai warga negara. Jika
semua warga negara
memiliki kesadaran tentang peran pentingnya warga negara, maka peradaban sebuah negara akan
tertopang dengan kokoh.
Secara teknis, mendidik warga negara
yang sejatinya bersedia menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk negara dan
masyarakat membutuhkan banyak pengorbanan. Hal itu tidak hanya menyangkut
tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang pendidikan tersebut, tapi juga
memerlukan dukungan dari warga negara yang rajin bekerja, mengetahui kewajiban,
dan jujur dalam pikiran dan tindakan (Djojonegoro, 1996). Sehingga mampu
menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tangguh dan siap menyongsong
kehidupan bangsa yang lebih berperadaban di mana budaya kesalehan politik
menjadi penyangganya.
Kehidupan warga negara Indonesia yang
berasal dari berbagai suku, budaya, bangsa, ras, dan agama diyakini mampu membentuk
SDM yang mendukung terbentuknya kehidupan civil
society atau masyarakat madani (berkeadaban) di Indonesia. Dengan kata lain
tumbuh dan berkembangnya akhlak kewarganegaraan (civic virtue) merupakan unsur utama dari budaya kewarganegaraan
(Djumharjinis, 2012). Berkembangnya etika kewarganegaraan yang berkeadaban,
hidupnya semangat persatuan, serta hidupnya semangat gotong-royong akan mampu
memberi kontribusi terhadap berkembangnya budaya kewarganegaraan yang mulia,
karena politik adalah tangga kemulian. Pada gilirannya akan menjadikan
pendidikan politik yang baik sehingga menyebabkan lahirnya masyarakat berkeadaban
yang mampu memaknai, bahkan mengaplikasikan kesalehan politik dalam keberagaman.*
Jakarta, 21 Maret 2018
Sumber Bacaan
Al-Qur’an Al-Karim
-
Q.S.
Al-Maidah [5]: 2
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan
bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan
binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang
yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari
Tuhannya dan apabila kamu Telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah
berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum Karena
mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya
(kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
-
Q.S
Al-Hujurat`[49]: 11
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi
yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan
perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih
baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan
gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah
orang-orang yang zalim.
Buku
Bahar, Saafroedin dan Nannie
Hudawati (peny.), Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia, 1998. Diterbitkan kembali dalam edisi buku saku oleh
Aliansi Kebangsaan, 2014
Djojonegoro, Wardiman, Lima puluh tahun perkembangan pendidikan
Indonesia. Jakarta: Depdikbud, 1996.
Djumharjinis, Pendidikan Pancasila, Demokrasi dan Hak
Azasi Manusia, Jakarta: Widya, 2012.
Kattsoff, Louis O, Element of
Filosophy (Terjemahan Soejono Soemargono: Filsafat), Yogyakarta: Tiara Wacana, 1986.
Qodir, Zuly,“Kesalehan Politik Kewargaan” (Kompas,
13/01/2018).
Suseno, Franz Magnis, Etika
Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003.
Media Online
“Data terkahir sampai
bulan Desember tercatat cukup tinggi, gubernur, bupati, walikota adalah 343
orang yang ada masalah hukum baik di kejaksaan, polisi, KPK yang ada masalah
hukum soal anggaran,” kata Tjahjo di Istana Kepresidenan, Rabu (4/2/2014). http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/21114211/Mendagri.343.Kepala.Daerah.Tersangkut.Kasus.Hukum
diakses 2 Februari 2018.
"KPK juga menegaskan
sangat terbuka dengan evaluasi dan pengawasan. Hal yang sama juga kami harap
menjadi perhatian DPR, mengingat dari 3 aktor terbanyak yang diproses KPK
adalah dari pelaku korupsi dari swasta (184), eselon I-III (175), dan anggota
DPR/DPRD (144)," ungkap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan,
Rabu (14/2/2018). https://news.detik.com/berita/d-3866609/ada-sejumlah-poin-rekomendasi-pansus-angket-yang-tak-disetujui-kpk diakses 2 Februari 2018
Komentar
Posting Komentar