Guru Sebagai Pemimpin Kehidupan
Ahmad
Zacky Siradj
Sepeda tua itu sudah mulai ia kayuh, dalam suasana
dinginnya pagi menuju Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar) yang berjarak 2
km. Seperti sudah begitu akrab sepeda tua itu menelusuri jalan kampung yang penuh kerikil batu kecil. Setibanya di
sekolah, peluh pun membasahi bajunya, menetes hingga lupa membasuh, padahal
di kantong celana ia membawa sapu tangan satu-satunya yang sudah lusuh.
Ia menyapa anak didiknya, “anak-anakku yang
kusayangi, kita akan memulai belajar kembali. Marilah kita awali dengan berdo'a
bersama seperti biasa. Rabbī ẓidnī ‘ilman wa arẓuqnī fahman, radhītu billāhi rabba wa bi al-Islami dīna wa bi Muhammad al-nabīyan wa rasūlan.” Do’a yang selalu diucapkan, berulang kali, terus-menerus
setiap akan memulai pelajaran.
Pelajaran baginya mengandung dua aspek yang saling
mengisi. Aspek alih ilmu pengetahuan dan aspek membentuk kpribadian, yang
kemudian disebut dengan mengajar dan mendidik. Do’a yang selalu dibacakan
bersama murid-muridnya setiap akan memulia pelajaran, merupakan perwujudan
dalam mengisi kedua aspek tersebut.
Ia pun berpandangan bahwa lingkungan, di mana
seseorang itu berada, dapat berpengaruh kepada pembentukan alam pikiran maupun
tabiat kepribadian orang tersebut. Sebab bagaimana pun, lingkungan tersebut
menyampaikan pesan dan memberi pelajaran kepada setiap orang untuk menambah
pengetahuan dan mengasah kepribadiannya. Dan tentu, seiring perjalanan waktu
seseorang akan menjadi dirinya; menemukan jati diri.
Seperti telah menjadi keyakinannya bahwa menciptakan
suasana yang religiusitas dalam proses belajar mengajar yang tercermin dalam
menyampaikan mata ajar atau pun dalam hubungan pergaulan antara murid dan
gurunya merupakan suatu kemustian, suatu panggilan suci karena kelak
murid-muridnya diharapkan menjadi manusia seutuhnya atau insan kamil. Itu sebabnya ia sadar betul
dan selalu berikhtiar agar bagaimana dirinya sebagai guru, dapat menjadi idola
muridnya. Seperti sebutan guru yang memiliki kepanjangan kata, “digugu dan ditiru”
artinya diikuti dan dicontoh; menjadi contoh yang baik.
Sepenggal ungkapan di atas merupakan gambaran
perjuangan dari seorang guru di Sekolah Rakyat. Setiap hari pergi ke sekolah
untuk melaksanakan kewajibannya memberikan ilmu pengetahuan dan mendidik
karakter anak-anak. Ia memang tidak bergelar sarjana karena pendidikannya hanya
tamatan Sekolah Guru Tingkat Atas (SGA) tapi karena semangat zaman dan
karakternya sebagai pendidik terbukti bahwa kehadiran pribadinya bagai sinar
lentera dalam kegelapan. Kendati terbatas cahaya terang sinarnya, tetapi cukup
jelas memberi arah bagi langkah kaki mengayun.
Bertahun-tahun ia mengajar, kini banyak muridnya yang
telah berhasil menduduki berbagai posisi, khususnya di pemerintahan. Tidak
sedikit pula dari mereka yang peduli dan perhatian terhadap nasib gurunya. Meski
demikian, tetap saja sang guru tidak berubah, tetap sederhana dan bersahaja sama
seperti ketika dulu mengajar anak-anak didiknya. Sebuah perwujudan karakter
yang melekat pada dirinya dan menjadi idola para muridnya.
Benturan
Peradaban
Perubahan akulturasi kehidupan sangat dipengaruhi
oleh perkembangan teknologi, terutama komunikasi dan informasi. Informasi yang
begitu mudah dan cepat mampu menghubungkan interaksi manusia dari berbagai
belahan dunia, sehingga dunia tak ubahnya hanya sebuah desa (global village).
Semakin canggihnya teknologi infomasi dan komunikasi telah membawa umat manusia
pada kehidupan yang semakin maju dan berkembang pesat.
Kondisi ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap
dunia pendidikan, terutama di negara-negara berkembang yang semakin bergerak ke
arah perubahan yang relatif mendasar. Termasuk di dalamnya, perubahan
eksistensi pendidikan yang semula berorientasi kepada konten domistik, semakin
dominan untuk memenuhi standar pendidikan global. Perubahan orientasi
pendidikan ini tentu bukan tanpa disadari, justru hal ini dilakukan karena
menyesuaikan dengan standar internasional. Meskipun pada kenyataannya—seperti
di keluhkan bahkan dirisaukan masyarakat—upaya mengejar tercapaianya standar
pendidikan tersebut, justru membuat nilai-nilai kebangsaan semakin menurun,
budaya yang menjadi ciri kepribadian bangsa secara bertahap memudar. Pergeseran nilai-nilai dan norma-norma inilah,
yang oleh Samuel Huntington disebut dengan clash of civilizaton (benturan
peradaban).
Hilang
Kepercayaan
Sebagaimana diketahui bahwa pergeseran nilai-nilai
ini telah merasuk pada hampir setiap lapisan masyarakat dan seluruh pranata
sosial. Hal ini menyebabkan adanya
kecenderung kebingungan sosial terhadap nilai-nilai yang telah menjadi
anutannya. Tidak terkecuali dunia pendidikan terkena ibasnya, sehingga sepertinya
mengalami kegamangan.
Pendidikan sejatinya hadir sebagai tumpuan harapan
untuk menggantungkan berbagai cita-cita. Karena pendidikan merupakan sarana
untuk mewujudkan masa depan yang lebih menjanjikan. Tetapi di pihak lain
pendidikan tidak bisa menghindar dari proses kehidupan yang justru membuat anak
didik asing dengan lingkungan budaya asli yang seharusnya menjadi kharakter
kepribadiannya. Lebih dari itu, pemahaman mereka terhadap sejarah perjuangan
bangsanya semakin dangkalnya. Padahal eksistensi bangsa akan sirna kala bangsa
itu tidak mengenal lagi sejarah perjuannya. Karena salah satu yang mengikat
kekuatan bangsa itu tidak lain adalah kesamaan nasib dalam perjuangannya.
Kenyataan ini dirasakan begitu meluas di masyarakat
dengan munculnya gejala semakin keringnya rasa penghormatan terhadap para
pahlawan dan pemimpin bangsa. Hal ini antara lain disebabkan semakin sedikitnya
porsi untuk pelajaran, pengelanan, dan penanaman nilai-nilai perjuangan bangsa.
Terlihat pula dari semakin pudarnya sikap penghormatan para anak didik terhadap
guru. Gejala kurang hormat ini semakin mewabah dalam kehidupan sosial
masyarakat. Di mana guru tak lagi di hormati muridnya, orang tua seperti telah
diacuhkan anak-anaknya, bahkan para pemimpin bangsa dijadikan bahan lelucon dan
parodi di televisi. Itulah gambaran kenyataan yang cukup ironis dalam kehidupan
masyarakat bangsa kita, masyarakat yang mengalami distrust society, kehilangan
kepercayaan, saling tidak percaya.
Kondisi masyarakat yang sedang dilanda wabah hilang percaya
diri ini tidak boleh dibiarkan berkepanjangan. Tetapi harus segera mendapat
jawaban yang konstruktif berangkat dari masyarakat itu sendiri, terutama dari
kalangan dunia pendidikan. Dalam konteks itulah, guru menjadi kunci utama. Para
guru dipandang paling mampu untuk menyembuhkan masyarakat serta mengembalikan kepercayaan
dan kehormatannya.
Di tengah kondisi Hiroshima dan Nagasaki yang luluh
lantah akibat Bom Atom, Kaisar Hirohito tidak menanyakan berapa kekuatan
pasukan perang. Tetapi menyakan berapa jumlah guru yang masih hidup. Dan,
terbukti dengan guru dan pendidikan Jepang terbukti mampu bangkit kembali dan
terus bergerak maju.
Guru diharapkan tampil sebagai cerminan
pribadi-pribadi yang penuh keteladanan. Mulai dari lingkungan pendidikan yang
paling dasar, sampai di jenjang strata pendidikan yang paling tinggi yaitu para
guru besar. Muara persoalan kehidupan masyarakat bangsa saat ini adalah hilangnya
keteladanan, dan bila guru telah kehilangan ketelandan maka runtuhlah
kehidupan. Karena itu, guru merupakan pemimpin kehidupan.*
* Penulis
adalah Ketua Umum IKALUIN Jakarta. Menyelesaikan Sarjana Lengkap di Fakulktas
Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1980). Peran menjadi anggota MPR Fraksi
Utusan Golongan (1999-2004) dan salah seorang Panitia Ad Hoc 1 Badan Pekerja
MPR yang membidangi Amandemen UUD 1945. Saat ini mengemban amanah sebagai
Anggota DPR RI (2014-2019) dari Fraksi Golkar.
**
Tulisan ini dibuat dalam Jurnal Bijak IKALUIN, Vol. 5, Nomor 1 2017
Komentar
Posting Komentar